Indonesia disebut sebagai paru-paru dunia, sekaligus juga laboratorium bencana. Hal ini dikarenakan secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan lempeng tektonik bumi, yang mana menjadikan wilayahnya rawan terhadap bencana akibat ancaman geologi seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan lain sebagainya.
Lebih dari 90% bencana yang terjadi dikategorikan sebagai bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti banjir, siklon, gelombang pasang yang ekstrim, dan cuaca ekstrim. Bahkan, menurut laporan penilaian ke-6 IPCC mencatat bahwa di wilayah Asia Tenggara, siklon tropis yang lebih ekstrim telah mempengaruhi wilayah.
Maka dari itu, dengan kondisi geografis dan proyeksi iklim, para pemangku kepentingan perlu membangun ketangguhan terhadap bencana dan perubahan iklim, serta melakukan upaya mitigasi dini untuk mengurangi risiko dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kapasitas masyarakat yang berisiko.
Salah satu kunci untuk membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana adalah dengan mendukung aksi pengurangan risiko bencana di tingkat komunitas. Maka dari itu, penting untuk memahami risiko bencana dari perspektif masyarakat.
Untuk memperkuat keterlibatan aktif dan kolaborasi diantara masyarakat berisiko, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah dalam merancang dan melaksanakan kebijakan dan program-program pengurangan risiko bencana dan ketangguhan masyarakat maka hadirlah Views from the Frontline (VFL).
Views from the Frontline (VFL) 2019 adalah kajian independen terbesar di tingkat global untuk pengurangan risiko bencana di tingkat lokal yang diinisiasi jaringan Global Network of Civil Society Organisations for Disaster Reduction (GNDR) di 51 negara.
VFL 2019 sendiri menghasilkan data dasar di tingkat lokal dan proses monitoring untuk mengukur capaian dalam rangka membangun ketangguhan dengan pendekatan yang berpusat pada masyarakat sesuai dengan Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana dan kerangka Agenda 2030 lainnya. VFL 2019 mengambil perspektif sistem yang luas, yang mengakui bahwa setiap aktor memiliki peran dan tanggung jawab yang terkait di level administrasi yang berbeda.
Tahun 2019 adalah kali kelima VFL dilakukan kembali di Indonesia dimana YAKKUM Emergency Unit (YEU) sebagai koordinator VFL di Indonesia bersama 8 organisasi yaitu Perkumpulan Lingkar, SP Kinasih, IPPMI DIY, RDI, Mariamoe Peduli, Caritas Maumere, Care Peduli, dan Walang Perempuan melakukan wawancara individu maupun diskusi kelompok terbatas melibatkan disabilitas, lanjut usia, anak dan remaja terhadap 2.949 responden di 21 desa/kelurahan di 4 Provinsi yaitu Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
(Diskusi kajian risiko bencana di Komunitas Sampang, DIY. FOTO : Dokumentasi VFL)
Wawancara yang dilakukan di tingkat lokal, dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan survei berfokus pada informan yang bekerja di tingkat provinsi, kabupaten, hingga pada lingkup desa/kelurahan termasuk pemerintah. Pada keseluruhan proses survei dilakukan oleh aktor lokal, sehingga hal ini bisa meningkatkan kapasitas dalam memonitor dan menggunakan informasi risiko di tingkat lokal. Pada wawancara tersebut, pertanyaan terkait ‘lingkungan yang mendukung’ dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan menilai perkembangan faktor-faktor institusional yang lebih luas dan terpenting untuk memperkuat aksi di tingkat lokal.
VFL 2019 memiliki tiga aspek yang dikaji, yaitu profil risiko, tata kelola risiko yang inklusif, dan lingkungan pendukung. Profil risiko mengidentifikasikan prioritas ancaman dan risiko, tantangan/hambatan dan aksi yang perlu dilakukan baik dari sudut pandang masyarakat, pemerintah, organisasi masyarakat sipil di wilayah setempat.
Sementara itu, pemetaan risiko yang partisipatif dan inklusi penting dilakukan untuk memastikan rasa kepemilikan komunitas terhadap kajian ini. VFL pun tidak berdiri sendiri, ia berkolaborasi dengan aktor-aktor lokal yang telah bekerja di komunitas setempat. Secara langsung, VFL menjangkau masyarakat dan pemangku kepentingan daerah melalui wawancara serta observasi sehingga menghasilkan perspektif komunitas dengan lebih baik. Selain itu, VFL mengevaluasi manajemen risiko dan lingkungan pendukung untuk mendorong ketangguhan masyarakat dan penanggulangan bencana.
Tahapan-Tahapan Proses VFL 2019 di Indonesia
Dalam proses pelaksanaan VFL 2019, ada dua tahapan yang harus dikerjakan, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan sendiri terdapat tiga bagian fase, diantaranya pengumpulan data, analisis data, dan rencana aksi. Proses pengumpulan data dilakukan oleh organisasi mitra pelaksana yang telah memiliki pengalaman bekerja di area survei baik dalam program berbasis masyarakat, penelitian, maupun monitoring dan evaluasi program pemerintah.
Pada saat mengumpulkan data, terdapat empat jenis survei yang dilakukan kepada setiap komunitas. Contohnya, wawancara dengan 7-13 responden pemerintah setempat (tingkat desa/kecamatan/kabupaten), wawancara dengan 4-10 responden dari organisasi masyarakat sipil di wilayah setempat, survei individu untuk rumah tangga berjumlah sekitar 40-135 responden di tiap komunitas atau 10% dari total rumah tangga sekitar 40-135 diskusi kelompok terpumpun yang masing-masing terdiri dari 8-10 responden (kelompok laki-laki, perempuan, lansia, disabilitas, dan anak-remaja). Data yang terkumpul kemudian diinput ke dalam sistem Survei Gizmo untuk diproses dan analisa. Hasilnya divisualisasikan melalui website VFL yaitu www.vfl.world.
VFL dalam Memilih Area Risiko, Komunitas, dan Sampling
Pada saat VFL 2019 diluncurkan, data Indeks Risiko Bencana (IRBI 2018) telah menunjukkan ada 16 provinsi yang berada pada kelas risiko bencana tinggi dan 18 provinsi pada kelas risiko bencana sedang serta tidak adanya provinsi yang berada pada risiko bencana rendah. Ketiga provinsi yang berisiko paling tinggi adalah Banten, Bengkulu, dan Sulawesi Barat. Berdasarkan data tersebut, program VFL diupayakan dilakukan pada provinsi-provinsi dengan risiko bencana sedang hingga tinggi.
(Dampak banjir di Hukurila, Maluku. FOTO : Dokumentasi VFL)
Data Indeks Risiko Bencana yang telah terbit ditentukan dari indeks ancaman, kerentanan, dan kapasitas. Ancaman-ancaman bencana tersebut adalah gempabumi, tsunami, banjir, erupsi gunung api, kekeringan, kebakaran hutan atau lahan, cuaca ekstrim, gelombang pasang ekstrim, abrasi, maupun banjir bandang. Sebagai perbandingan, area risiko dipilih dari tipe yang berbeda, yaitu geologi yang mana terkait dengan pergerakan lempeng maupun hidrometeorologi yang berkaitan dengan perubahan iklim.
Selain tipe ancaman, ada pula karakteristik area yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan area risiko seperti perkotaan dan pegunungan, kepulauan kecil, daerah pesisir, atau pegunungan, daerah aliran sungai. Hal tersebut guna untuk melihat perbedaan perspektif masyarakat terkait dengan profil risiko, tata kelola risiko, dan lingkungan pendukung.
Tidak sampai di situ, pembangunan yang tidak berbasis pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim akan meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap bencana. Area risiko ini juga dipilih untuk mengidentifikasi dampak pembangunan yang terjadi di wilayah survei.
Sedangkan, komunitas dipilih berdasarkan rekomendasi dari komite penasihat dan usulan yang diajukan oleh organisasi mitra pelaksana. Yang mana komunitas target mempresentasikan kawasan perkotaan dan pedesaan. Adapun perbedaan ini dilihat dari total luas wilayah, perbandingan luas wilayah dan kepadatan penduduk, karakter komunitas, tipe mata pencaharian, dan ketersediaan fasilitas umum dan infrastruktur yang memadai.
Dalam pemilihan sampel, di tiap komunitas setidaknya memiliki 10 responden yang berasal dari pemerintah setempat dan 10 responden dari organisasi masyarakat sipil. Responden untuk survei rumah tangga setidaknya pun berjumlah 10% dari total Kepala Keluarga di Desa/Kelurahan setempat. Kemudian, di tiap komunitas ada 5 diskusi kelompok yang terdiri dari kelompok laki-laki, perempuan, lansia, disabilitas, dan anak-remaja. Setiap kelompok diupayakan terdiri dari 8-10 responden. Rasio jenis kelamin untuk keseluruhan responden adalah 1:1 termasuk juga disabilitas, kelompok masyarakat adat dan marjinal.
Perlu diketahui, analisa temuan VFL dan pelaksanaan rencana aksi sebagai tindak lanjutnya diharapkan dapat melengkapi data risiko yang sudah ada, selain untuk menilai risiko dari perspektif lokal, tapi juga menjadi alat untuk memonitor sejauh mana upaya pengurangan risiko bencana dan ketangguhan masyarakat yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun aktor lainnya, masyarakat, dan masuk ke dalam perencanaan serta pelaksanaan pembangunan hingga di lingkup terkecil, yaitu desa/kelurahan. (MA)
*Artikel membahas tentang VFL ini merupakan kolaborasi antara SiagaBencana.com bersama dengan YAKKUM Emergency Unit.