Banjir bukanlah fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Sudah menjadi pemandangan rutin tahunan di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia ketika musim hujan datang. Namun ada satu peristiwa banjir yang tak terlupakan hingga saat ini, yaitu pada Februari tahun 1861 di Banyumas.
Peritiwa ini dimulai saat 160 tahun yang lalu di Banyumas. Banjir bandang melanda wilayah Banyumas pada 21-23 Februari 1861. Tiga hari lamanya wilayah Banyumas hujan deras dan terendam banjir setinggi pohon kelapa, hingga ikan-ikan bisa memakan bunga pohon kelapa.
Bukti adanya banjir bandang adalah adanya prasasti yang ditempelkan di komplek Pondok Pesantren GUPPI Banyumas pada tembok bagian selatan gedung yang persis di pintu masuk komplek dengan menggunakan Bahasa Belanda. Letaknya persis menggambarkan ketinggian air bah yang sampai ke langit-langit gedung, yang mana tingginya sekitar 3,5 meter.
Sumber : InyongLani
Selain itu, ada juga bukti lainnya seperti rumah keluarga Ong Keng Saey yang didirikan sekitar tahun 1800. Rumah tersebut memiliki jejak peristiwa yang terjadi sekitar tahun 1861 melalui tembok rumah dalam bentuk garis batas banjir setinggi 5 meter dan tertulis tanggal 21 Februari 1861.
Parahnya banjir bandang di Banyumas membuat sekitar seribuan tahanan dilepas dari bui yang letaknya landai. Di sebagian tempat, air bahkan disebut menenggelamkan pokok kelapa. Mayat dan bangkai hewan bergelimpangan dimana-mana. Pemandangan serupa juga dijumpai di Banjarnegara yang disapu longsor.
Kisah banjir besar ini lantas diceritakan secara turun-temurun dan sering didongengkan guru-guru sekolah dasar, setidaknya hingga akhir 1990-an. Banjir yang terjadi 1861 ini juga salah satu penyebab pindahnya pusat ibu kota ke Purwokerto. “Banjir meluapnya Serayu itu yang juga membuat Belanda memindahkan pusat ibu kota ke Purwokerto kemudian,” ujar Jatmiko Wicksono, pegiat sejarah dari Banjoemas Heritage.
Konon, banjir terjadi lantaran sebelumnya Belanda menebang pohon secara besar-besaran di sepanjang Serayu. Imbasnya, hujan tiga hari tiga malam membawa tanah longsor dan lumpur kiriman Serayu.
Sumber : crossing the waters
Banjir bandang bukan hanya terjadi di Banyumas. Nyatanya banjir meluas hingga Surakarta (Solo) pada tanggal 24 Februari 1861. Hal ini dibuktikan dengan adanya lukisan dari Raden Saleh, dan plakat penanda banjir (warna putih) terletak di sebelah kanan gerbang Benteng Vastenburg. Plakat tersebut menerangkan batas tinggi air yang menggenangi benteng pada 24 Februari 1861. (MA)
Sumber : Republika, Kompas & Potret Lawas