tradisi masyarakat indonesia

Tradisi Masyarakat Indonesia Berbasis Gempabumi

Jepang adalah negara yang sering dilanda dengan gempabumi. Maka dari itu, negara yang biasa disebut negeri sakura ini menjadi panutan dalam pengurangan risiko bencana alam, khususnya gempabumi. Tapi jangan salah, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah memiliki cara tersendiri dalam mengurangi risiko gempabumi dengan kearifan lokal atau tradisi yang dimiliki setiap daerah.

Seperti apa sih pengurangan risiko gempabumi yang dimiliki masyarakat Indonesia? Siagabencana.com mempunyai cerita mengenai beberapa tradisi masyarakat Indonesia terhadap gempabumi yang wajib kamu ketahui, simak!

Suku Baduy

Tribuntravel

Suku Baduy yang berada di Banten ini adalah salah satu suku yang masih mempertahankan nilai budaya yang dimiliki dan diyakininya. Dalam jurnal Suparmini tahun 2014 lalu, masyarakat Badui membuat aturan adat dan larangan dalam membangun rumah. Bahan bangunan yang digunakan adalah bahan yang lentur, misalkan saja seperti bambu, ijuk dan kiray agar rumah tidak mudah rusak saat terjadi gempabumi.

Selain itu pula, rumah tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah. Serta kolom bangunan dan sambungan tidak boleh menggunakan paku, hanya pasak dan tali ijuk yang boleh digunakan, agar jika terjadi gempabumi tidak mengalami kerusakan yang hebat.

Masyarakat Mentawai

SukuMentawai

Masyarakat Mentawai tinggal di pulau-pulau kecil di bagian barat provinsi Sumatera Barat. Wilayah Mentawai ini sering mengalami gempabumi sampai 52 kali. Dikarenakan sering dilanda gempabumi, masyarakat Mentawai memiliki tradisi dalam mengurangi risiko gempabumi. Masyarakat Mentawai memiliki lagu berjudul Teteu Amusiast Loga (gempa akan datang tupai sudah menjerit).

Dilansir dari Kumparan, kata ‘Teteu’ diartikan sebagai kakek atau juga bisa sebagai gempa bumi. Sebelum gempa tersebut mengguncang, ada beberapa pertanda yang disampaikan oleh binatang. Sebagai contohnya adalah tupai akan gelisah, begitu juga dengan ayam peliharaan akan berkotek tanpa sebab. Lagu ini tak ubahnya seperti early warning system yang bersifat adat bagi masyarakat di Kepulauan Mentawai.

Masyarakat Tana Ai, Nusa Tenggara Timur

Masyarakat Tana Ai yang berada di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Menurut Ignasius Suban Angin dalam jurnalnya pada 2016, masyarakat Tana Ai percaya bahwa bumi diseimbangkan oleh ular naga. Gempabumi kemudian mengguncang jika ular naga tidak diberikan sesaji. Ular naga akan berontak geram dan menggetarkan bumi.

Masyarakat Tana Ai akan berteriak dengan keras ami norang (kami ada) saat terjadi gempabumi. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan pada ular naga yang sebelumnya merasa tidak ada orang di muka bumi yang memberinya makan. Selain itu, mereka membangun barak untuk melindungi anak-anak dan orang tua.

Masyarakat Bali

Berdasarkan penelitian I Wayan Subagia tahun 2012, masyarakat Bali masih minim akan pengetahuan mengenai gempabumi. Soal gempabumi, masyarakat di Pulau Dewata, khususnya yang berada di Desa Culik, Kabupaten Karangasem dan Desa Pengastulan, Kabupate Buleleng percaya bahwa guncangan tersebut disebabkan oleh pergerakan ular besar (naga).

Saat gempa bumi terjadi, masyarakat Bali lari bergegas keluar, masuk ke kolong tempat tidur atau kolong meja, berangkulan satu sama lain, berteriak linuh, linuh, linuh, dan hidup, hidup, hidup.

Tradisi masyarakat Bali terhadap pegurangan risiko gempabumi ini dilakukan secara turun menurun. Selain itu, yang dilakukan secara spontan oleh masyarakat Bali adalah mencari perlindungan, memberitahu orang lain, menyampaikan keadaan diri sendiri, dan memohon perlindungan kepada Tuhan yang Maha Esa. (MA)

Sumber : Kumparan