Indonesia memiliki dan dikelilingi oleh banyak gunung aktif maupun tidak aktif. Salah satunya adalah Gunung Agung. Gunung Agung memiliki letusan yang tidak kalah dahsyat dari gunung lainnya. Hal ini dibuktikan oleh ucapan I Made Pastika yang telah merasakan sendiri letusan Gunung Agung yang terjadi pada 1963, “Tiba tiba seluruh Bali gelap, saya di Buleleng ikut gelap”.
Gunung Agung pernah mengalami erupsi pada tahun 1963. Nampaknya, pada tahun tersebut adalah letusan keempat sekaligus yang tersebsar sejak letusan pertama. Tercatat, Gunung Agung mengalami erupsi pertama pada tahun 1808, 1821, 1821, dan 1963.
Di letusan pertama pada tahun 1808, terjadi lontaran abu vulkanik dan batu apung dalam jumlah yang sangat besar dari puncak gunung. Lalu di letusan kedua pada tahun 1821, kadarnya tidak sebesar erupsi pertama. Sedangkan yang ketiga kalinya di tahun 1843, erupsi Gunung Agung didahului dengan sejumlah gempabumi sebelum memuntahkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung. Selanjutnya, Gunung Agung terdiam cukup lama hingga tidak dianggap sebagai gunung aktif lagi. Sampai akhirnya di tahun 1963 Gunung Agung erupsi sangat dahsyat.
Erupsi Gunung Agung 1963
Dentuman keras terdengar pada 18 Februari 1963, disertai asap tebal yang keluar dari puncak gunung. Tanggal 24 Februari, lahar mulai mengalir dan berlangsung terus-menerus selama beberapa pekan. Namun, masih ada yang tetap bertahan di Besakih demi merampungkan Upacara Eka Dasa Rudra. Hingga pada tanggal 9 Maret 1963, pemerintah telah memberikan peringatan kepada masyarakat agar Pura Besakih dikosongkan dan masyarakat yang tinggal di sekitarnya harus segera mengungsi.
Di tanggal 17 Maret 1963, langit Pulau Dewata mendadak gelap, matahari sama sekali tidak tampak di pagi itu. Terdengar suara gemuruh dan menggelegar dari puncak Gunung Agung. Orang-orang mulai panik dan mengungsi. Desas-desus kiamat bakal segera tiba menambah ketegangan saat itu.
Pada hari itu, Gunung Agung menyemburkan abu vulkaniknya ke udara, setinggi hingga 10 kilometer. Inilah puncak erupsi. Lebih dari 1.000 meregang nyawa, belum termasuk yang luka-luka, juga rumah, ternak, serta tanaman yang hangus terbakar.
Erupsi besar berikutnya terjadi pada 16 Mei 1963. Korban jiwa kembali berjatuhan. Menurut riset M.T. Zen dan Djajadi Hadikusumo bertajuk “Preliminary Report on the 1963 Eruption of Mountain Agung in Bali” melaporkan, dua letusan signifikan itu memuntahkan lahar dingin di sepanjang lereng selatan, tenggara, dan utara, serta menghancurkan banyak desa dan bangunan, juga menewaskan ribuan orang (Bulletin Volcanologique, Volume 27, 1964).
Setelah letusan dahsyat tahun 1963 tersebut, Gunung Agung membisu lagi, cukup lama. Baru lebih setengah abad kemudian, tepatnya 54 warsa berselang yakni tahun 2017, Gunung Agung kembali terbangun dan sempat membikin panik sehingga evakuasi warga pun dilakukan sebagai tindakan antisipasi. Lalu di pekan minggu awal tahun 2018 lalu, status Gunung Agung kembali menjadi berstatus ‘awas’ sebelum diturunkan menjadi ‘siaga’ sejak tanggal 10 Februari. (MA)
Sumber : Tirto.id