Mengingat, Indonesia adalah supermarket bencana. Bencana tsunami mungkin bukan hal yang baru lagi untuk Indonesia.
Tsunami pada tahun 1979 adalah tahun yang tidak pernah terlupakan tentunya untuk warga Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini disebabkan pada 18 Juli 1979, sekitar pukul 00.20 waktu setempat, telah terjadi gelombang besar datang secara tiba-tiba dan menghantam pesisir Teluk Waiteba, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dalam tulisan Joedo D. Elifas yang berjudul “Laporan Hasil Peninjauan Bencana Alam di Selatan Pulau Lomblen, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur” (1979), tsunami menghantam pesisir selatan Lembata sepanjang lebih kurang 50 km dari Teluk Labala di bagian barat hingga Teluk Waiteba ke timur. Elifas menemukan jejak sampah di ketinggian tujuh meter yang tersangkut di pohon lontar. Gelombang tinggi juga dilaporkan mencapai Lamalera.
Sebenarnya, ada banyak pemukim di pesisir selatan Lembata yang terdampak tsunami dan tanah longsor awalnya tidak tinggal di daerah tersebut. Perpindahan mereka didorong oleh kebijakan pemerintah.
Misalnya saja sebagian berasal dari Desa Lerek. Sebagaimana dicatat dalam laporan berjudul “Bencana Yang Terlupakan? Mengingat Kembali Bencana Larantuka dan Lembata 1979-2009”, peneliti Manajemen Risiko Bencana, Jonatan Lassa menyebutkan Lerek sebagai daerah yang terletak di bagian pedalaman tepat di belakang Gunung Adowajo dan Iliwerung. Akan tetapi, pada 1960-an, pemerintah Orde Baru memindahkan warga Lerek ke Teluk Waiteba. Alasan pemerintah, warga akan lebih aman dari bahaya gunung api. Namun, alih-alih selamat, tsunami justru menerjang lebih cepat ketimbang letusan gunung api.
Tsunami Lembata masih meninggalkan sejumlah pertanyaan menyoal faktor terjadinya tsunami. Meskipun ada longsoran besar yang terjun ke lautan dan menimbulkan tsunami, penyebab longsoran sendiri masih memunculkan berbagai dugaan.
Pada tahun tersebut, sistem peringatan dini gempabumi dan tsunami di Indonesia memang belum ada. Namun, catatan dari Meteorologi dan Geofisika juga tidak menunjukkan adanya aktivitas gempabumi sedikit pun yang berpusat di sekitar NTT, saat terjadi longsor dan tsunami menerjang Lembata. Bahkan, pada catatan United States Geological Survey (USGS) tentang gempa 1979 di seluruh dunia tidak memunculkan nama Lembata atau daerah sekitar NTT.
Laporan Raphael Paris, dan kawan-kawan (dkk) berjudul “Volcanic tsunami: a review of source mechanisms, past events and hazards in Southeast Asia (Indonesia, Philippines, Papua New Guinea)” menyatakan adanya aktivitas vulkanik Gunung Hobal yang meletup-letup sejak 1973. Gunung Hobal sendiri terletak di bawah laut (submarine volcano).
Situs informasi Gunung Hobal yang disediakan Badan Geologi menyebutkan puncak Gunung Hobal pernah tampak menyembul ke permukaan saat air surut sebelum meletus pada 1970-an. Namun sejak tsunami 1979, puncak Hobal tak terlihat lagi. Diduga karena ambrol dihantam gelombang tsunami.
Dua hari sebelum longsor juga tidak dilaporkan adanya aktivitas gunung berapi menurut tim Vulkanologi dari Bandung. Gempabumi sebelum peristiwa tanah longsor memang terjadi pada 1977. Namun, kekuatannya kurang dari lima magnitudo.
Yudhicara, dkk dalam penelitiannya berjudul “Geothermal System as the Cause of the 1979 Landslide T/sunami in Lembata Island, Indonesia” memberikan pandangan lain ketika mengurai penyebab Tsunami Lembata 1979. Mereka meninjau longsoran yang terjadi di sekitar komplek Gunung Api Iliwerung dengan menggunakan pendekatan studi.
Penelitian lapangan Yudhicara, dkk pada 2013 menunjukkan titik sumber air panas di sekitar lokasi longsoran yang membuat tanah menjadi asam karena proses magma. Ini juga merupakan alasan mengapa tanah rapuh, kendur, dan mudah berpindah.
Hasil analisis Mineralogi Difraksi Sinar-X (XRD) juga menunjukkan bahwa tanah asli terdiri dari mineral kristobalit, kuarsa, dan albite. Sedangkan material tanah longsor terdiri dari mineral lempung seperti kuarsa, saponit, chabazite, silikon oksida, dan coesite yang mana mineral khas di lingkungan hidrotermal.
Berdasarkan studi lapangan tersebut, Yudhicara dkk menyimpulkan bahwa longsoran dipengaruhi oleh sistem panas bumi aktif di daerah tersebut. Bahkan pada 2013 saat studi lapangan dilakukan, bekas alur longsoran masih terlihat gundul gersang dan kontras dengan daerah sekitarnya yang hijau lebat. Kandungan sulfat yang tinggi mencapai 3458,61 ppm menjadi alasan mengapa tak ada vegetasi yang tumbuh di material tanah longsor, meski peristiwa sudah puluhan tahun berlalu. (MA)
Sumber : Tirto.com & BMKG