Ta’bir Gempa : Antara Mitigasi bencana dan Kearifan Lokal di Aceh

Aceh adalah salah satu kota yang menjadi pusat perhatian dunia sejak Minggu pagi 26 Desember 2004, setelah gempa dan tsunami mengguncang di wilayah pesisir Barat Aceh dengan kekuatan megatrust

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, gempa dan tsunami tidak bisa diprediksi. Akan tetapi, para leluhur memiliki tafsiran dan prediksi yang istimewa. Ciri khas tersebut sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan masyarakat setempat, bahwa tidak selamanya bencana membawa duka dan luka. Pengetahuan tersebut kemudian ditulis dan disalin dalam naskah Ta’bir Gempa. 

Pada dasarnya, perhatian dan mitigasi bencana sudah menjadi fokus utama para pendahulu sesuai dengan pengetahuan dan perkembangan teknologi yang dimiliki pada masa tersebut. Dalam catatan sejarah menyebutkan bahwa bencana gempa dan dampak ikutannya pernah menimpa Aceh dan sekitarnya pada akhir abad ke-18 dan ke-19. 

Catatn sejarah tersebut diukir dalam naskah Ta’bir Gempa oleh para leluhur sebelumnya. Bahkan, para pendahulu menempatkan perhatiannya terhadap gempa melebihi daripada bencana lainnya seperti longsor, banjir, dan gunung meletus. 

Rekaman Sejarah Gempa dalam Ta’bir Gempa

Aceh pernah dilanda gempa yang terjadi pada Jum’at 10 Februari 1797 M di Selat Mentawai Padang yang mengakibatkan tsunami hingga ke Simeulu dan pantai barat wilayah AcehPada periode berikut diikuti gempa pada Senin 24 November 1833 M sekitar pukul 10.20 WIB berkekuatan 8,8 SR di laut Sumatera, disebabkan pecahnya segmen palung Sumatera, juga berakibat tsunami di perairan Sumatera termasuk Aceh, Simeulue, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, serta menerjang kaasan Maladewa dan Sri Langka. 

Kuat dugaan gempa ersebutlah yang terukir dalam teks naskah Ta’bir Gempa yang disebutkan…

“Bab pada menyatakan gempa pada bulan Rajab. Jika pada waktu Shubuh gempa alamat akan isi negeri sakit padanya. Jika waktu Dhuha gempa alamat air laut keras padanya.”

Masyarakat Simeulue menyebut istilah tsunami dengan kata “smong”, sedangkan masyarakat pesisir barat Aceh hingga ke Kutaradja (banda Aceh), secara umum menyebutnya “ie beuna”.

Menurut Pusat Penelitian Geoteknologi, bahwa gempa yang terjadi pada tahun 1797 terulang kembali di abad berikutnya pada tahun 1833 berkekuatan 8,8 SR di jalur yang samay, yaitu laut Sumatera. Maka dengan berbagai penelitian berkesimpulan bahwa gempa yang akan datang berdampak tsunami dapat lebih besar dari tahun 1797 dan 1833 apabila energi gempa yang terkumpul di segmen gempa ini dilepas sekaligus. 

Satu abad setelahnya, Aceh-Suamtera masih sering dilanda gempa, di antaranya gempa pada 23 Agustus 1936 dan 12 April 1967 di Lhokseumawe dan sekitarnya. Menurut masyarakat setempat, gempa yang terjadi sebelum kemerdekaan mengakibatkan air laut membanjiri kota Lhokseumawe. 

Selain itu, gempa juga terjadi di Simeulue pada 12 November 1969. Sedangkan di Banda Aceh pada 9 Mei 1949, 4 April 1983, 2 April 1964 di Aceh Besar dan sekitarnya. 

Tidak banyak yang menulis atau merekam kondisi gempa Aceh yang terjadi di abad ke-20, atau kita belum banyak menemukan referensi dalam bentuk manuskrip atau naskah-naskah. Hanya gempa pada 2 April 1963 diperoleh informasi dalam bentuk syair Syeh Rih Krueng Raya saat gempa melanda wilayah Aceh Besar, Krueng Raya dan sekitar kaki gunung Seulawah. 

Hadirnya penafsiran Ta’bir Gempa ada dua hal kemungkinan, yaitu Ta’bir Gempa disadur berdasarkan sejarah lisan yang kemudian didokumentasikan melalui tulisan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga penyalinannya tidak mendetail dan akurat termasuk tempat, waktu, dan siapa penyalinnya. Atau karakteristik lokal dan pemahaman masyarakat setempat yang berkembang pada masa tersebut menunjukkan para pengarang dan penyalin naskah untuk selalu memiliki sifat rendah hari dan menjauhi sikap riya.  (MA)

Sumber : Jurnal Hermansyah