Presiden Joko Widodo, Senin (2/3/20), telah mengumumkan bahwa terdapat dua warga negara Indonesia yang positif terjangkit virus korona (Covid-19). Dari hasil pengumuman ini, menjadikan Indonesia sebagai negara yang telah terinfeksi virus korona SARS-CoV2, dengan segala konsekuensi sosial, politik, dan ekonominya.
Namun amat disayangkan, dari pengumuman tersebut, media massa terkesan mengeksploitasi kondisi korban dengan beredarnya alamat rumah dan hal lainnya yang tidak relevan dengan penyebaran virus korona. Bahkan, beberapa informasi yang simpang siur dan hoax tentang penyebaran serta penanganan dari virus korona ini pun menyebar luas.
Pengumuman adanya kasus positif terjangkit virus korona ini, diikuti oleh kepanikan warga dengan memborong kebutuhan pokok di beberapa pusat perbelanjaan. Bahkan, masker dan hand sanitizer kini sudah menjadi barang langka serta harganya pun melonjak tinggi. Ini menjadi sebuah bukti, bahwa kepanikan dan ketidaksiapan warga dikarenakan kegagalan komunikasi risiko yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebagaimana diamanatkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan United Nation Disaster Risk Reduction (UNDRR), komunikasi risiko memiliki peran penting dalam meminimalkan dampak bencana.
Komunikasi ini menuntut adanya pertukaran informasi yang berkualitas dan transparan antara otoritas, para ahli dan pihak lain yang berkompeten, dengan publik. Tujuannya agar publik bisa memproteksi diri dan keluarga, sehingga bisa meminimalkan dampak dan kekacauaan saat dan setelah wabah. Kegagalan komunikasi risiko, selain memicu ketidak percayaan publik, juga bisa melemahkan kesiapsiagaan, kepanikan, dan kekacauaan yang bakal memperdalam dampak bencana.
Oleh karena itu, Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK) Indonesia mendesak:
- Pemerintah Indonesia menyediakan informasi yang transparan kepada publik mengenai proses dan hasil pemeriksaan yang dilakukan, protokol pencegahan dan perlindungan masyarakat dari wabah Covid-19.
- Pemerintah Indonesia harus lebih proaktif melakukan pemeriksaan di daerah-daerah berisiko dan menyiapkan rumah sakit di daerah, agar mampu menangani perawatan pasien korona, serta Crisis Center juga harus di sediakan.
- Media massa sebaiknya menyudahi penyebutan identitas dan alamat pasien dengan lengkap. Media tidak harus meliput dan memotret rumah pasien, karena tak relevan dengan penghentian penanganan wabah Covid-19. Penghormatan dan melindungi para penyintas adalah bagian dari Kode Etik Jurnalistik.
- Jurnalis dan media massa harus menghadirkan pemberitaan yang relevan pada upaya-upaya pencegahan dan penanganan untuk mencegah kepanikan warga lebih lanjut.
- Jurnalis dan media tidak menyebarkan hoax dan spekulasi yang bisa menambah kekacauan. Justru, jurnalis dan media bisa menjadi penerang atas kekacauan informasi yang beredar di media sosial.
- Perusahaan media harus memastikan keselamatan jurnalisnya, dengan menyediakan perlengkapan dan pengetahuan yang memadai agar tidak tertular Covid-19. (MA)