Sejarah Banjir Jakarta

Musim hujan kini sudah tiba, tapi ancaman banjir masih saja menjadi penyakit bagi penduduk Jakarta.

Nampaknya penyakit ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan Tarumanegara, lho Sobat Disasterizen. Dalam prasasti tugu yang kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta, sudah menyebutkan adanya banjir dan penanggulangannya dalam abad ke lima Masehi. Bahkan Raja Purnawarman yang memimpin kerajaan, pernah menggali Kali Chandrabagha (Bekasi) dan Kali Gimati (Kali Mati di Tangerang), sepanjang 12 km untuk mengatasi banjir.

Saat musim hujan datang, kota ini tidak jarang digenangi oleh limpahan air Sungai Ciliwung atau Sungai Besar. Sedangkan, di musim kemarau airnya sangat sedikit. Keadaan tata air di Jakarta pun dikatakan sangat buruk saat itu. Hal ini dikatakan pengamat Belanda yang waktu itu masih berdagang.

Di tahun 1872, banjir besar terjadi yang menyebabkan Sluisbur (Pintu Air), yang terletak di depan Masjid Istiqlal, jebol. Bahkan Sungai Ciliwung pun meluap dan merendam pertokoan, serta hotel di Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan sekitarnya.

Ternyata banjir besar di zaman Belanda juga memusingkan para gubernur jenderal Belanda, lho. Dari JP Coen (gubenur pertama) sampai AWL Tjarda van Starkenborgh Stachoewer (gubenur ke 66) juga gagal mengatasi banjir di Batavia.

Lantas mengapa banjir ini selalu menjadi penyakit untuk Jakarta?

Banjir selalu terjadi dikarenakan Jakarta terletak di dataran rendah, Sob. Tidak hanya itu, JP Coen juga mendirikan pusat kekuasaan di atas rawa-rawa. 

Coen telah mendirikan kota di atas rawa-rawa, andaikata ia memilih tempat lain yang lebih tinggi setidaknya persoalan banjir dapat dikurangi dan tidak memusingkan pemimpin selanjutnya” tulis staf kantor penerangan tersebut.

Baca juga : BERKACA KESIAPSIAGAAN SEKOLAH PADA SLB 02 LENTENG AGUNG & SLB NUR ABADI

Penanggulangan Banjir

Pada tahun 1895, pemerintah Hindia Belanda pernah merancang grand design untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Grand design ini mencakup pembangunan yang menyeluruh dari daerah hulu di kawasan Puncak hingga hilir di daerah estuaria di utara Jakarta.  

Lalu, di masa kepemimpinan Fauzi Bowo adalah Banjir Kanal Timur (BKT). BKT ini berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.

BKT ini   menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas kurang lebih 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta. (MA)

Sumber : Kompas.com