Indonesia terkenal akan labotarium bencana, memiliki segundang sejarah di baliknya. Salah satunya, secarik sejarah gempabumi dan tsunami yang terjadi di busur Kepulauan Sunda Kecil, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada wilayah-wilayah tersebut, tercatat tsunami terjadi lebih dari 22 kali sejak tahun 1800-an.
Sejarah mencatat pada 29 Desember 1820, gempa kuat yang berpusat di Laut Flores memicu tsunami di Flores hingga Sulawesi Selatan. Di Bulukumba, korban meninggal akibat tsunami mencapai sekitar 500 orang.
Perlu diketahui, wilayah Sulawesi terletak pada zona pertemuan tiga lempeng besar di dunia yang dikenal dengan sebutan triple junction. Tiga lempeng tersebut menyebabkan pola pergeseran lempeng dalam bentuk sesar geser. Ketiga lempeng besar tersebut adalah Lempeng Sunda, Lempeng Australia, dan juga Lempeng Filipina.
Tsunami destruktif terakhir yang dipicu gempa di Laut Flores terjadi pada 12 Desember 1992 dan menimbulkan tsunami setinggi 30 meter dan menyebabkan 2.500 orang meninggal dan 500 orang hilang.
Lalu, pada tanggal 29 Desember 1820 gempabumi diperkirakan memiliki M 7,5 dan berpusat di laut Flores memicu tsunami di Flores hingga Sulawesi Selatan. Tsunami menghancurkan desa-desa di barat Bonthain sampai timur Bulukumba, termasuk Desa Terang-Terang dan Nipa-Nipa.
Berdasarkan data sejarah gempa dan tsunami dari hasil penelitian yang dimuat di Jurnal Geofisika, Vol. 16, No. 01 (2018) yang diterbitkan Himpunan Ahli Geofisika Indonesia menyatakan berdasarkan data historis gempabumi di Laut Flores yang berpotensi tsunami adalah gempabumi M 7,5 (1820) dan M 7,1 (1927). Berdasarkan perhitungan, mereka memprediksi pengulangan gempabumi dengan M 7,5 dan M 7,1 adalah 41 tahun (1861) dan 22 tahun (1949). Sedangkan tinggi tsunami dengan M 7,1 (17 meter) dan M 7,5 (25 meter).
Prediksi itu terjadi pada 1949, gempabumi di Laut Flores berkekuatan M 6,4, sedangkan pada 1861 tidak terjadi gempa bumi. (MA)