348 tahun lalu, gempabumi dan mega tsunami meluluhlantakkan bumi Maluku. Kedua bencana yang berpusat di Ambon tersebut adalah salah satu bencana alam terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang menyelimuti perjalanan VOC dan pemerintah Hindia-Belanda di Nusantara.
Ignatius Ryan Pranantyo & Phil R. Cummins menulis dalam jumlahnya yang dimuat pada SpringrLink berjudul The 1674 Ambon Tsunami Extreme Run-Up Caused by an Erathquake Triggered Landslide pada 2019 tentang bencana besar yang terjadi di Ambon.
“Sesaat sebelum terjadinya gempa, lonceng-lonceng di Kastil Victoria berdentang dengan sendirinya,” tulis Pranantyo dan Cummins. Tak ada yang menduga sesuatu yang dahsyat akan terjadi. Saat itu, orang-orang mulai berjatuhan saat tanah mulai mengombak naik turun seperti lautan.
“Gempa pertama kali dirasakan dengan guncangan dahsyat dari dalam tanah di Ambon. Bangunan beserta rumah-rumah runtuh dan menjadi puing-puing” tulis Georg Everhard Rumphius dalam laporannya yang tersimpan rapi di Perpustakaan Rumphius di Katedral St. Fransiskus Xavesius, Ambon.
Laporan Rumphius tersebut terangkum dalam website IOC UNESCO dengan judul Summary notes of Georg Everhard RUMPHIUS, yang ditranslasi dari laporan asli berbahasa Belanda oleh E.M. Beekman and F. Foss pada 1997.
Pada tanggal 17 Februari 1674, pada hari Sabtu malam, sekitar pukul setengah tujuh, di bawah bulan yang indah dan cuaca yang tenang, harus berubah jadi malam kelabu. Rumphius dala laporanya menggambarkan kejadian buruk yang ia alami saat itu.
“Seluruh Provinsi, yaitu Leyfimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Hanimoa, Nusalaut, Oma, dan tempat lain yang berdekatan, mengalami guncangan yang begitu mengerikan sehingga kebanyakan orang yakin bahwa Hari Kiamat telah tiba”, tulisnya.
Akibat bencana tersebut, beberapa wilayah mengalami rusak parah, seperti di Leitimor dan Semenanjung HItu, terjadi tanah retak di banyak tempat dan ada banyak longsoran, yang sangat kuat di Wawani dan Pegunungan Manuzau.
Setelah terjadi guncangan dahsyat, mulai muncul gelombang pasang yang lemah di Teluk Ambon. Gelombang tersebut datang dan menarik mundur yang dijumpainya di darat sebanyak tiga kali. Air telah naik ke ketinggian 4 sampai dengan 5 kaki dan beberapa sumur yang dalam terisi begitu cepat hingga orang bisa mengambil air dengan tangan, sementara saat berikutnya sumur itu kosong kembali.
Pantai timur Sungai Wayfomme pun terbelah dan air menyembur setinggi 18 hingga 20 kaki, melemparkan pasir berlumpur biru yang diyakini kebanyakan orang hanya dapat ditemukan pada kedalaman 2 minggu 3 depan.
“Gempa yang dahsyat itu diikuti oleh mega tsunami yang super besar dengan ketinggian sekitar 100 m yang hanya diamati di pantai utara Pulau-Ambon” tulis Pranantyo dan Cummins.
Saat itu, semua orang berlari ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, dimana mereka bertemu dengan Gubernur dan kompi besar. Mereka mulai memimpin majelis dalam doa di bawah langin yang cerah, berharap ada keajaiban untuk menyelamatkannya.
Orang-orang terus mendengar dentuman seperti tembakan meriam yang jauh. Sebagian besar terdengar dari utara dan barat laut, menunjukkan bahwa beberapa gunung mungkin akan meledak atau setidaknya gunung-gunung akan runtuh.
Bencana tersebut kurang lebih telah menyebabkan kematian lebih dari 2.243 jiwa masyarakat pribumi dan diantaranya mencakup 31 orang ropa, dengan total mencapai 2.322 jiwa. (MA)