SIAGABENCANA.COM – Rabu (21/4), dalam webinar Ngopi PB yang rutin dilanksanakan setiap hari Rabu ini, Ngopi PB ke-7 memilih tema ‘Proyeksi Risiko Bencana di Kawasan Asia dan Implikasinya Terhadap CSO/NGOs di Indonesia’ dengan narasumber utama Vanda Meyfa Lengkong dari Plan International. Tidak hanya tu, ada penanggap dari Inggit Fandayati, Pujiono Centre dan Janggam A., MPBI.
Vanda menjelaskan bahwa dalam 10 tahun terakhir, 83% bencana dipicu oleh ancaman yang disebabkan oleh cuaca ekstrem dan kejadian iklim lainnya, seperti banjir, siklon, dan gelombang panas. Angka bencana yang disebabkan oleh iklim dan cuaca ekstem telah naik sejak pertengahan tahun 1960-an dan meningkat tajam sampai 35% di tahun 1990-an, 78% di tahun 2000-an, serta 83% di tahun 2010-an. Hal tersebut dipicu dengan adanya perubahan iklim.
“Bencana bisa terjadi kapan saja dengan frekuensi yang semakin tinggi dan semakin dipicu dengan adanya perubahan iklim (risk magnifier)”, ucap Vanda.
Bagaimana dengan Kawasan Asia?
Kejadian bencana di kawasan Asia tersendiri yang disebabkan oleh cuaca ekstrem masih akan sering terjadi. Hal ini disebabkan adanya perubahan iklim yang terus menghantui penduduk bumi. Selain itu, adanya risiko yang semakin tinggi terhadap La Nina dan El Nino, yang berdampak kepada kekeringan.
Vanda mengatakan, kawasan Asia berada di kawasan ring of fire, yang berarti risiko kejadian bencana terjadi secara tiba-tiba masih tergolong lumayan tinggi. Selain itu juga terdapatnya disaster placement, konflik, migrasi dan pandemi COVID-19.
Tren Kerja-Kerja Manajemen Risiko Bencana di Kawasan Asia
- Permintaan bantuan dari pemerintah hanya terbatas kepada lembaga yang sudah bekerja di negara tersebut.
- Pemenuhan kebutuhan baru dalam respon kemanusiaan berkaitan dengan COVID-19.
- Penguatan framework legal dan kebijakan-kebijakan respon bencana yang harus mengintegrasikan pengungsian dalam konteks pandemi.
- Penguatan data dan evidence dalam respon bencana.
- Penguatan pelibatan masyarakat dan akuntabilitas dalam kerja kemanusiaan.
- Prioritize the scale-up of development, climate change adaptation and DRR di wilayah-wilayah yang rentan.
- Local led action in DRR, CCA, and Humantarian work.
- Peningkatan buy in terkait dengan ‘anticipatory action’ melalui Forecast-based financing and early action.
- Peningkatan kolaborasi antar lembaga (sebelum. saat, dan sesudah bencana).
Dari bencana yang terjadi dan kerja manajemen risiko bencana, implikasinya terhadap CSO/NGO di Indonesia adalah pentingnya berjejaring untuk memberi pengaruh, kemampuan beradaptasi dan fleksibel terhadap perubahan serta memiliki keahlian khusus, mendukung kepemimpinan lokal dan mobilisasi kapasitas lokal, peningkatan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk dampak yang lebih besar.
Tidak sampai di situ, CSO/NGO juga perlu adanya peningkatan akuntabilitas dan pelibatan masyarakat dalam kerja-kerja manajemen risiko bencana, serta pengembangan inovasi pembelajaran dan manajemen pengetahuan.
Dapat disimpulkan, perlu adanya kerja sama antar semua pihak untuk membangun mitigasi bencana. Selain itu, juga perlu diperhatikan prioritas yang tepat sasaran untuk kepentingan masyarakat bersama. (MA)