Masih ingat dengan kejadian gempa, tsunami, dan likuifaksi yang terjadi di Palu pada 2018 lalu? Peristiwa tersebut menyebabkan lebih dari 63.000 rumah hancur dan kurang lebih 200.000 orang terlantar atau takut untuk tetap tinggal di rumah. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia, NGO dan beberapa gabungan komunitas membuat rumah sementara dan tetap untuk para korban, yaitu Huntara (Hunian Sementara) dan Huntap (Hunian Tetap).
Menurut paparan Tim EERI dalam webinar Unique Challenges on build back better for community resilience after the Palu Earthquake (7/10), Pemerintah Indonesia membuat hampir 700 unit dalam 72 Huntara. Bukan hanya pemerintah, tetapi lebih dari 30 NGO telah membuat sekitar 8.425 unit untuk para korban akibat gempa, tsunami, dan likuifaksi Palu di tahun 2018 lalu.
Selain Huntara, pemerintah juga telah membangun Huntap. Tetapi dalam pembangunan Huntap, Pemerintah hanya berfokus pada penyediaan perumahan yang aman dengan cepat, meskipun tidak sepenuhnya yakin akan keamanan dalam jangka panjang.
Tim ERRI menyampaikan, bahwa ada beberapa perencanaan yang harus dilakukan dalam membangun kembali konstruksi pasca gempa, tsunami, dan likuifaksi Palu, seperti :
Master Plan
- Semua tingkat pemerintahan berkomitmen pada Tindakan rebuilding dengan cepat
- Relokasi di daerah bahaya tsunami dan area likuifaksi
- Rencana rekonstruksi selesai 31 Desember 2018
- Empat area relokasi permanen (Huntap)
- Rencana infrastruktur wilayah, dan
- Peraturan baru untuk pembangunan gedung di Sulawesi Tengah
Pembuatan Peta Bahaya
Peta bahaya memberikan informasi penting tempat yang harus dihindari (Diresmikan Desember 2018), seperti :
- Rekonstruksi dilarang di zona merah, konstruksi dibatasi di zona lain.
Namun, ada berbagai tantangan, seperti ;
- Peta tidak memiliki zona hijau, jadi setiap lokasi menantang
- Batas zona merah sangat rumit dan kontroversial karena penduduk perlu pindah. (MA)