Melakukan upaya pengurangan risiko bencana bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya dari kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat Manggarai menganggap hutan menjadi hal yang penting. Di Manggarai Barat, Hutan Mbeliling memiliki fungsi penting sebagai penyangga daratan kabupaten Manggarai Barat yang didominasi oleh lereng curam, rawan longsor.
Selain itu, hutan Mbeliling juga sebagai pemasok air bersih warga kota dan memberikan ruang serta peluang yang besar bagi perekonomian warga. Kawasan Mbeliling membentang dengan ketinggian antara ±1.230 mdpl di tengah-tengah daratan kabupaten Manggarai Barat. Kawasan hutan Mbeliling menutupi areal seluas 30.412,360 Ha.
Mata pencaharian yang bersumber dari perkebunan tanaman tua (kemiri, kopi, coklat dan cengkeh), menghendaki lahan yang luas. Kebutuhan akan lahan yang luas tersebut menjadikan masyarakat pada masa lampau merambah hutan sebagai lahan baru dengan sistem lodok. Lodok dibuka secara bersama-sama dalam satu keluarga besar dan hasilnya dibagi sama luas dengan mengambil titik dari tengah, dan garis pembagian ditarik ke arah luar sehigga membentuk seperti jaring laba-laba. Dibawah ini adalah contoh sisitem Lodok yang diterapkan di persawahan yang ada di Manggarai.
Dengan sistem ladang berpindah, lodok kemudian ditinggalkan dan kembali menjadi hutan yang dalam bahasa Manggarai disebut dengan puar. Konsep puar dalam masyarakat adat Manggarai di kawasan Mbeliling adalah kawasan yang tidak digunakan sebagai lahan untuk berladang dan atau kegiatan pertanian lainnya, dan penguasaan terhadapnya berada di tangan Tua Golo (pemimpin adat).
Dalam mekanisme adat, mengambil isi puar untuk kepentingan apapun tidak dapat dilakukan secara bebas, akan tetapi harus seizing Tua Golo dengan menggunakan makanisme adat yang disebut tuak.
Baca juga : RUMOH KRONG BADE : RUMAH TRADISIONAL ACEH BERBASIS MITIGASI BENCANA
Mekanisme tuak adalah prosedur meminta isi hutan dengan membawa tuak. Isi tuak adalah rokok, uang sekemampuan dan sopi (minuman keras terbuat dari fermentasi air pohon aren) sebagai pembuka cerita dalam menyampaikan maksud kepada Tua Golo.
Dalam membuat keputusan, Tua Golo memanggil Tua Batu yang ada di golo yang dipimpinnya untuk memusyawarahkan (cama) permintaan anggota keluarga yang berkeinginan untuk megambil isi puar.
Pengambilan kayu oleh masyarakat tidak dalam skala besar untuk dijual, akan tetapi sekedar untuk kebutuhan membangun rumah atau kayu api. Untuk kebutuhan membangun rumah, minimal masyarakat membutuhkan kayu sebanyak 6 batang sebagai tiang utama. Selain itu, kebutuhan lainnya mereka ambil di kampung dari ladang pribadi atau dengan meminta pada keluarga dekat.
Namun jika tidak memiliki kayu di kebun pribadi mereka boleh mengambil kayu di hutan tutupan. Adanya peraturan tak tertulis ini menjadikan sumberdaya alam di hutan mbeliling tetap terjaga sehingga bermanfaat sebagai pencegah bencana kekeringan dan longsor di daerah Manggarai Barat. (MA)
Sumber : Buku Kearifan Lokal Dalam Mitigasi Bencana