Saat ini, seluruh masyarakat Indonesia tengah berjuang melawan virus corona (COVID-19) dengan cara selalu menjaga kesehatan dan kebersihan. Untuk menjaga kebersihan lingkungan dari bahaya COVID-19 yang hinggap pada benda, World Health Organization (WHO) menganjurkan menggunakan disinfektan.
Penggunaan bahan disinfektan pada umumnya yang digunakan pada masyarakat umum adalah air yang dicampur dengan cairan pemutih pakaian atau pembersih lantai. Namun berbeda kali ini, di wilayah adat Banualemo di Sulawesi Selatan para penduduk perempuannya bergotong royong meracik cairan disinfektan alami dengan bahan daun sirih dan jeruk nipis. Cairan itu nantinya digunakan di sebuah tempat yang mereka sebut sebagai ‘bilik sterilisasi’.
Cara tersebut adalah ilmu yang dianjurkan secara turun menurun untuk membasmi kuman dan penyakit. Lalu, dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman untuk memerangi COVID-19 yang mulai mewabah.
Masyarakat adat Banualemo telah memodifikasi bilik sterilisasi tersebut dari pengasapan. Pada zaman dahulu, pengasapan menggunakan tungku, namun kini masyarakat Banualarno di desa Bone Lemo menggunakan “penguap burung walet”, yang kini disebut sebagai bilik sterilisasi.
Selain itu ada tradisi masyarakat adat Banualemo, jika ada warga yang sakit biasanya langsung diobari dengan diasapi oleh cairan berbahan daun sirih dan jeruk nipis. Bukan hanya itu, daun sirih dan jeruk nipis ini juga digunakan bagi perempuan yang akan menikah.
Besesandingon Orang Rimba
Selain dianjurkan untuk menyemprotkan disinfektan, WHO juga mengatakan untuk selalu social distancing yang kini diubah menjadi physical distancing. Nampaknya praktik social distancing ini juga sudah dilakukan jauh sebelum COVID-19 datang di kalangan masyarakat adat Orang Rimba di Jambi. Mereka menyebutnya dengan besesandingon atau tradisi yang selama ini mereka lakukan untuk menghentikan segala penyakit menular.
Jadi praktik social distancing ala masyarakat Rimba ini, orang yang sakit harus mengisolasi dirinya selama beberapa hari. Mereka yang sakit tidak boleh berbaur dengan orang sehat. Tradisi ini hanya berlaku untuk masyarakat Rimba saja, namun bagi orang dari luar yang bertandang ke wilayah tersebut mereka juga harus dipisahkan dari orang sehat, bahkan dengan jarak hingga 50 meter.
Nah, biasanya mereka yang sakit ditempatkan di lokasi yang lebih ke hilir sungai. Sedangkan untuk mereka yang sehat tinggal di hulu sungai. Sehingga, air yang dipakai oleh orang sakit tidak mengalir ke orang sehat. Hal ini disebabkan masyarakat Rimba tinggal di dekat sungai, maka dari itu ada konsep hulu dan hilir. Apapun yang dipegang oleh orang sakit pun juga tidak boleh disentuh.
Kesehatan untuk masyarakat Rimba sangat menjadi prioritas. Hal ini juga nampak dari tiap kali sesama masyarakat bertemu. Saat bertemu, yang mereka pertanyakan pertama kali adalah kondisi kesehatannya. Makanya nggak heran deh kalau mereka melakukan berbagai macam tersebut. (MA)
Sumber: BBC.com