wabah di indonesia

Perjuangan Kolonial Belanda Mengatasi Wabah di Indonesia

Di abad 19 merupakan masa-masa sulit yang dihadapi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, terutama dalam hal kesehatan. Pemerintah dikejutkan dengan berbagai penyakit yang menimpa masyarakatnya mulai dari wabah kolera, wabah pes, hingga penyakit kulit seperti kusta yang menyerang hampir â…” jiwa penduduk Jawa saat itu. 

Awal Tahun 1911

Pada tahun 1911 merupakan awal dari penyebaran penyakit cacar di Jawa. Penyakit tersebut sebenarnya sudah ditemukan pada tahun 1780 dengan memakan korban sekitar 20 oang meninggal dunia dan 100 terjangkit. 

Dokter asal Inggris dan juga merupakan rombongan dari Rafles, yakni John Crawfurd pada tahun 1811 dikagetkan dengan jumlah korban cacar di Jawa semakin meningkat, sehingga menyebabkan kekacauan luar biasa diantara masyarakat. 

Kemudian, di tahun 1910-1911 jumalh korban cacar meningkat sekitar 30%. Total korban meninggal akibat cacar meningkat sekitar 102 orang. Korban yang terjangkit wabah tersebut umumnya didominasi oleh anak-anak dan balita. Usia anak-anak merupakan usia yang paling rentan dalam penyebaran epidemic tersebut. Mengingat bahwa di usia di bawah 10 tahun merupakan proses perkembangan anak dan imunisasi yang ada pada tubuh anak-anak masih belum begitu kuat dalam menangani penyakit cacar yang dideritanya. 

Selama periode tersebut, Pemerintah Hindia Belanda terlalu gegabah dalam menangani kasus tersebut. Pada masa itu dianggap sebagai masa politik seiring dengan diberlakukannya sistem politik etis yang sangat mengedepankan aspek ekonomi dan politik yang mengakibatkan pemerintah lupa akan menangani cara menghentikan penyebaran wabah cacar sehingga berdampak pada angka mortalitas penduduk meningkat terutama anak-anak. 

Dengan begitu, akibatnya penyebaran cacar begitu cepat hingga menyebar hampir seluruh daerah di Jawa, tidak memandang apakah daerah pedalam atau pesisir. Berkembangnya penyakit tersebut menimbulkan suatu pemahaman bahwa sebuah penyakit akan muncul pada periode tertentu. 

Bukan hanya penyakit cacar, tapi kolera juga menghampiri dan menjangkiti wilayah Jawa Timur, dan Surabaya merupakan kota terparah. Sejak awal Abad ke-19 Kota Surabaya menjadi kota dengan tiga penyakit epidemic terbesar, yaitu kolera, cacar, dan demam berdarah. 

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda Terhadap Penanganan Berbagai Wabah

Selama masa penyakit epidemi dan pandemik yang terjadi di Jawa, Pemerintah Hindia Belanda terus melakukan kegiatan vaksinasi di setiap pedesaan di Jawa. Perintah melakukan imbor tabung mometeris yang pertama kali diimpor langsung dari Belanda yang nantinya akan didistribusikan ke tiap daerah yang terdampak parah akibat wabah yang dideritanya. Pemerintah juga menambah jumlah vaksinator, yakni seseorang yang melakukan penanganan berbagai penyakit menggunakan cara tradisional.

Selain vaksin yang diberikan oleh pemerintah, mereka juga memperkenalkan penggunaan kina sebagai bahan herbal untuk mengatasi berbagai penyakit. Kina pertama kali diimpo langsung dari Amerika dan dibawakan oleh Hassakarl pada tahun 1854 dan langsung membuka perkebunan kina di Pangelengan. 

Baca juga : 5 KESENIAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN TENTANG KESIAPSIAGAAN

Selain itu, pemerintah juga memproduksi obat tablet yang disebarluaskan sebagai langkah penyembuhan jika korban sudah terlanjur mengidap penyakit yang dideritanya. Total 972.300 obat tablet yang disiapkan oleh Pemerintah pada tahun 1919 untuk menangani wabah influenza yang terjadi. 

Pemerintah Hindia Belanda juga menerbitkan sebuah buku panduan cara hidup sehat dalam bentuk aksara Jawa yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920 dengan judul Lelara Influenza. Dalam buku tersebut digambarkan seseorang yang sdang bersosialisasi tentang caranya hidup sehat dan mengobati berbagai langkah pencegahan dan penanganan penyakit influenza yang terjadi di masyarakat. 

Sedangkan, ketika terjadi wabah cacar Pemerintah Hindia Belanda memproduksi vaksinisasi yang diproduksi langsung dari Pusat Pengendalan Wabah di Jenewa, Swiss untuk kemudian dikirimkan ke Batavia melalui Kapal Lisabeth. Sebagian lain dari vaksin tersebut kemudian digunakan sebagai pusat pengembangan oleh Sekolah Dokter Jawa. 

Tidak sampai di situ, Pemerintah Hindia Belanda dalam penanganan kasus wabah kolera yang terjadi di Jawa dan Madura dilakukan dengan memberikan cairan berupa Roere Laudanum dan Hoffman. Cairan tersebut diminum masing-masing sehari 4 kali sendok teh untuk orang dewasa, sedangkan 2 kali sendok teh dalam mengobati wabah kolera. Pengobatan lain yang digunakan oleh pemerintah yakni dengan memberikan cairan dan elekrolit. 

Kebijakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yakni dengan mendirikan lembaga kampongsverbeteering. Lembaga ini diusulkan oleh Thomas Karsten, seorang anggota volksraad sekaligus ahli dalam perancangan tata kelola kota. Program ini berisikan tentang perbaikan rumah milik warga yang terdampak wabah kolera dengan cara merelokasi rumah warga ke tempat yang lebih baru. 

Lalu, ketika Jawa terjadi wabah pes pemerintah mulai menerapkan program karantina pda tahun 1911 sebagaimana tertuang dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 227 tahun 1911. Dalam peraturan tersebut ordonasi karantina memberikan kebijakan untuk melakukan karantina kepada masyarakat apabila dilanggar maka akan dikenakan sanksi berupa pembayaran denda. Denda yang dibayarkan sebesar 100 gulden untuk orang Eropa dan 25 gulden untuk masyarakat Bumiputera dan Timur Asing. 

Begitu banyak yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam menangani penyakit-penyakit tersebut. Dari kejadian tersebut, sepatutnya pemerintah kita saat ini belajar untuk penanganan wabah tersebut. (MA)

Sumber : Jurnal Samudra Eka Cipta