Umur bumi yang semakin tua dan sikap manusia yang semena-mena terhadap lingkungan, membuat kita tidak asing mendengar istilah krisis iklim. Lantas apa itu krisis iklim? Krisis iklim adalah istilah penggambaran pemanasan global, perubahan iklim, dan akibatnya. Krisis iklim digunakan untuk menekankan ancaman pemanasan global terhadap bumi dan mendesak manusia untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim.
Krisis iklim sendiri memiliki dampak yang dahsyat pada semua makhluk hidup, khususnya manusia, baik laki-laki atau perempuan. Namun sayangnya dan perlu menjadi perhatian khusus, beban yang dipikul dari dampak krisis iklim bisa berlipat ganda untuk perempuan, terutama di negara-negara dengan indeks ketimpangan gender yang tinggi.
Hal ini dikarenakan perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan makanan (food gatherer). Sedangkan, krisis iklim memicu krisis pangan, yang membuat tugas ini semakin berat.
Bahkan yang menjadi lebih parah, situasi ini bisa meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dewasa dan anak-anak. Apalagi untuk yang bertugas mencari air bersih, karena krisis iklim memperparah kelangkaan air.
Tidak sampai di situ, perempuan memiliki keterbatasan dalam tampil di ranah publik dan keterlibatan mereka dalam diskusi pengambilan keputusan terkait mitigasi krisis iklim. Kesimpulan ini diambil berdasarkan wawancara sejumlah aktivis perempuan di organisasi keagamaan Islam dalam penelitian PPM UIN jakarta tentang Kesadaran Gender di kalangan Umat Islam di Indonesia (2003). Bahkan, dalam analisis dari Andi Misbahul Pratiwi (2023), menunjukkan bahwa banyak kebijakan iklim di Indonesia masih belum sensitif terhadap gender.
Namun tidak perlu dikhawatirkan, seiring berkembangnya pembahasan dan diskusi tentang kesetaraan gender, kini banyak perempuan yang semakin lantang mengadvokasi isu-isu sosial, termasuk isu lingkungan. Sebagai contohnya adalah perempuan hebat bernama Hening Parlan, Koordinator GreenFaith, dan Khalisa Khalid, Koordinator PEA Greenpeace. Di kancah internasional sendiri ada Greta Thunberg yang menjadi tokoh penting dalam memperjuangkan isu lingkungan global.
“Kepemimpinan perempuan dalam gerakan islam, green islam juga masih terbilang kecil. Jadi ini adalah komitmen saya sebagai aktivis perempuan dan lingkungan, ketika melihat panelisnya adalah laki-laki semua, jadi ini adalah bagian dari komitmen untuk bagaimana membuat forum-forum tidak menjadi all male panels. Dan harapannya ini juga bisa menjadi komitmen kita semua, termasuk organisasi, lembaga, dan instusi pemerintahan.” – Khalisa Khalid, Aktivis Perempuan dan Lingkungan dalam Peluncuran Riset Green Islam pada 24 Agustus 2024.
Sumber : ppim_uinjakarta