Penerapan SPAB Untuk Sekolah di Indonesia

80 % kematian di Asia diakibatkan oleh bencana alam. Serta, dalam 15 tahun terakhir, 100 juta orang di Asia Tenggara telah terdampak peristiwa bencana yang mempengaruhi anak-anak dan sektor pendidikan, karena 9 dari 10 anak menghabiskan setengah dari kehidupannya di sekolah. Namun, seringkali fasilitas sekolah tidak dibangun sesuai dengan bangunan tahan bencana.

Lalu, UNICEF dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepakat memperkuat kesiapsiagaan darurat di sektor pendidikan, seperti :

  • Melalui dukungan teknis pengembangan kebijakan, regulasi dan pedoman SPAB dan pendidikan dalam kondisi darurat (reguler dan konteks COVID-19)
  • Menyiapkan persediaan kelengkapan utama penyelenggaraan pendidikan (tenda, APE, perlengkapan sekolah, dll). Sehingga ketika bencana terjadi respon dapat dilakukan tepat waktu untuk memungkinkan pembelajaran berkelanjutan anak di daerah terdampak.

Terkait dengan sektor pendidikan, bencana tsunami dan gempa menyebabkan dampak signifikan pada sektor pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari bencana tsunami di Aceh (2004) dan gempabumi di Provinsi Sulawesi Tengah.

Terdapat sebanyak 46.397 sekolah terdampak di Indonesia, namun hanya 9,9% sekolah yang menjalankan SPAB. Hal ini masih harus dilihat dari persyaratannya, karena banyak sekolah yang menjalankan hanya berhenti di step sosialisasi SPAB. Sehingga mereka sudah mengklaim melaksanakan SPAB. Hal ini perlu menjadi pertimbangan agar program SPAB berjalan sesuai harapan.

Bukan hanya itu, ada beberapa hal yang membuat sekolah-sekolah di Indonesia masih belum menerapkan SPAB, seperti:

  1. Capaian yang tidak berimbang antara pilar 1 dengan pilar 2, pilar 3 dan untuk tiap jenjang (PAUD, DIKTI) dan jenis satuan pendidikan (madrasah, PKBM, SKB). Satuan pendidikan informal kurang disentuh.
  2. Motor penggerak masih didominasi oleh pemerintah pusat dan masyarakat sipil. Pemerintah daerah masih belum jadi penggerak aktif SPAB. Banyak praktik baik yang dibuat, namun implementasi belum terstruktur.
  3. Inovasi pada integrasi pemetaan sekolah dengan wilayah rawan bencana namun belum dilakukan dengan optimal.
  4. Beragam modul, panduan dan praktik baik sudah banyak disusun dan diterapkan secara pilot.
  5. Pemerintah pusat masih memprioritaskan daerah 3T dan wilayah pasca bencana, sedangkan wilayah recovery dan wilayah yang mengalami bencana siklus tahunan juga perlu penanganan.
  6. Standar bangunan terkait ancaman gempa dan kebakaran sudah ada untuk ancaman yang lainnya belum.
  7. Relokasi sekolah dipengaruhi faktor sosial, ekonomi, budaya dan politik.
  8. Inklusifitas belum diterapkan secara luas dan sistematis.
  9. Penguatan kelembagaan dan kolaborasi melalui advokasi dan pembentukan sekber.
  10. Inovasi di tingkat daerah melalui penilaian akreditasi sekolah menyertakan komponen SPAB, integrasi SPAB dalam muatan lokal, instrumen monitoring oleh pengawas sekolah.
  11. Beragam strategi peningkatan kapasitas termasuk penggunaan e-learning dan juga bimtek (daring/luring) untuk guru dan tenaga pendidik lainnya.
  12. Kebijakan dan suber daya masih banyak terpusat di tingkat naisonal termasuk kolaborasi dengan pamuka, fasilitas nasional, TAGANA, dan HW.
  13. Sistem monitoring masih lemah, utamanya di daerah.
  14. Stratgei PRB di sekolah (infusi, mulok, ekskul) melalui komunitas dan tingkat keluarga.
  15. Paradigma program SPAB yang masih tergantung pada penagnggaran (terutama di satuan pendidikan).

Maka dari itu, ada beberapa rekomendasi yang dituturkan oleh Avianto Amri, PhD, RDI dalam webinar Sharing Hasil Evaluasi SPAB Nasional yang diselenggarakan UNICEF, Jakarta (14/10), yakni :

  • Penguatan sistem monev yang terkontrol dan partisipatif untuk mendukung pengambilan keputusan dan alokasi dana
  • Penguatan sinergi antar stakeholder pilar 1 (bersama pihak swasta) pilar 2 & 3 (pemerintah daerah) dan juga peer learning (melalui pembentukan gugus, festival dan kompetisi)
  • Pengembangan standar dan pedoman untuk fasilitas SPAB utnuk ancaman lainnya.
  • Penguatan pada pemerintah daerah, termasuk sekber di daerah untuk mendukung koordinasi, kolaborasi dan sinergi antar pihak.
  • Pengembangan inovasi pada perangkat, pendukung dan proses SPAB termasuk emmastikan inklusi dan integrasi program
  • Kampanye yang terstruktur, berkesinambungan dan masif untuk mendorong SPAB mandiri dan merubah paradigma ketergantungan akan anggaran
  • Melahirkan champion

Nugroho Inderawarman, (Education Specialist UNICEF), menambahkan kedepannya hasil evaluasi dapat menjadi dasar kebijakan bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah dalam pelaksanaan program SPAB di Indonesia. Termasuk dalam pengembangan SPAB terbaru, membantu perencanaan dan pengembangan SPAB seluruh pemangku kepentingan, dan dipublikasikan sebagai pengurangan risiko bencana. (MA)