Indonesia selain negara kepulauan, juga negara yang berada pada jalur ring of fire. Maka dari itu, tidak heran jika Indonesia memiliki 127 gunung api aktif yang tersebar sepanjang pulau Sumatra di sisi barat hingga wilayah Indonesia bagian timur. Menyikapi kondisi tersebut, maka dari itu perlu adanya penguatan sistem peringatan ini.
Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun masyarakat untuk mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan. Perlu diingat, penguatan sistem peringatan dini bukan hanya penguatan alat deteksi maupun monitoring. Namun, kemampuan respon masyarakat terhadap bencana juga perlu ditingkatkan.
Haryanti Sutrisno, Bupati Kediri, dalam seminar virtual dalam rangka Bulan Peringatan Risiko Bencana di Bogor (12/10), menjelaskan bahwa erupsi Gunung Kelud merupakan salah satu potensi bencana di Kabupaten Kediri, sejak ribuan tahun lalu Gunung Kelud telah erupsi puluhan kali. Selain itu, membangun peringatan dini melalui peningkatan kapasitas masyarakat.
“Sejak tahun 1000 M, Gunung Kelud telah meletus lebih dari 30 kali, dengan letusan terbesar berkekuatan 5 VE. Letusan terakhir Gunung Kelud terjadi pada tahun 2014, pada tanggal 13 Februari pukul 21.15 diumumkan status bahaya tertinggi, Awas (Level IV), sehingga radius 10 km dari puncak harus dikosongkan dari manusia. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, pada pukul 22.50 telah terjadi letusan pertama yang menyebabkan hujan kerikil dan cukup lebat dirasakan oleh warga di wilayah Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur,” jelas Haryanti.
Kemudian, ia mengatakan untuk membangun sinergitas dan ketangguhan, pemerintah daerah, masyarakat dan komunitas penggiat kebencanaan secara masif dilakukan sejak tahun 2010 melalui berbagai upaya kegiatan pengurangan risiko bencana letusan Gunung Kelud.
“Wujud sinergisitas dan ketangguhan pemerintah daerah, masyarakat dan komunitas penggiat kebencanaan dalam melakukan respon peringatan dini Gunung Kelud, dengan membangun kesadaran tentang pengurangan risiko, membentuk radio komunitas guna tersebarnya informasi dengan cepat, membangun kapasitas masyarakat dalam hal manajemen bencana seperti penentuan jalur evakuasi dan penentuan tempat pengungsian dan terakhir rutin mengadakan simulasi,” kata Haryanti.
Selain itu, guna membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap peringatan dini Gunung Kelud dalam menghadapi letusan dimasa mendatang, dilakukan berbagai langkah, pembentukan tim siaga bencana, hingga pemasangan rambu peringatan.
“Program kegiatan guna meningkatkan kapasitas masyarakat di Gunung Kelud dalam menghadapi letusan dimasa mendatang adalah pembentukan tim siaga bencana desa (TSBD) di semua desa yang masuk dalam Kawasan Rawan Bencana Gunung Kelud dan Desa Penyangga. Membentuk Desa Tangguh Bencana (Destana) di enam desa di KRB II Gunung Kelud. Membangun sistem Informasi Desa (SID) di enam desa di KRB II Gunung Kelud, sebagai upaya penyiapan kebutuhan data terpilah. Selanjutnya, membentuk desa bersaudara (Sister Village) di enam desa di KRB II Gunung Kelud berpasangan dengan sepuluh desa yang berada diluar KRB Gunung Kelud, sebagai upaya menjawab kepastian tempat pengungsian,” tutupnya.
Evangelian Sasingen, Bupati Sitaro menjabarkan, puluhan ribu penduduk berisiko erupsi Gunung Karangetang. Selain itu, dampak erupsi pada Mei 2015 silam mengakibatkan 469 warga mengungsi meskipun status gunung Siaga (Level III).
“Kurang lebih 46 ribu jiwa penduduk yang bermukim di Pulau Siau berisiko terhadap ancaman Erupsi Gunung Karangetang. Pada 7 Mei 2015, terjadi erupsi dengan mengakibatkan 469 jiwa warga yang berada di tiga wilayah di Kecamatan Siau Timur, yakni di Dusun Kola kola, Kelurahan Bebali dan Tampuna, diungsikan ke tempat yang cukup aman, status gunung Siaga Level III,” tutur Evangelien.
Lebih lanjut ia menambahkan, masyarakat Sitaro sangat terbuka dan mempunyai kesadaran akan bencana yang akan melanda daerahnya, sehingga risiko yang terjadi bisa diminamilisir.
“Masyarakat Sitaro terbuka dan religius serta menghormati tradisi. Sehingga kondisi ini dalam upaya penanggulangan bencana sangat membantu, dan dampaknya pada risiko bisa minimal. Masyarakat Sitaro juga termasuk masyarakat cukup peka terhadap bencana, semisal dengan peningkatan aktivitas Gunung Karangetang, umumnya masyarakat akan melakukan evakuasi mandiri di lokasi yang lebih aman,” tambahnya.
“Pendekatan kekeluargaan menjadi salah satu kunci, latarbelakang masyarakat homogen cukup memudahkan ketika dalam proses evakuasi warga,” ungkapnya.
Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan respon masyarakat diantaranya membentuk sembilan belas desa tangguh bencana. Selain itu, ada upaya mitigasi bencana berbasis komunitas melalui pembentukan jemaat tangguh bencana. Saat ini, sudah terbentuk enam jemaat tangguh bencana yang berada di Kepulauan Siau.
Selanjutnya, membentuk sekolah tangguh bencana dan membangun mitigasi bencana sejak dini sebagai upaya meningkatkan respon masyarakat terhadap peringatan dini ancaman bencana Gunung Karangetang. Untuk itu, pemerintah daerah telah membentuk sekolah tangguh bencana di Kepulauan Siau yang berada dekat dengan Gunung Karangetang. Pelibatan sejumlah pihak dalam konsep penanggulangan bencana di daerah juga sudah dilakukan, dengan kehadiran para relawan. (MA)