Badai tumbuh di wilayah Indonesia
Ingatan publik masih kuat terhadap dampak badai tropis Cempaka November 2017 lalu. Banjir bandang karena hujan disertai angin ekstrem menyebabkan 41 korban meninggal dan hilang, 25 orang di Pacitan, 10 orang di Yogyakarta, 4 orang di Wonogiri, dan masing-masing satu orang di Wonosobo dan Purworejo. Jumlah korban luka-luka dilaporkan BNPB mencapai 13 orang dan pengungsi mencapai 28.190 orang [1].
Kejadian siklon atau badai tropis yang tumbuh di wilayah Indonesia mengagetkan banyak pihak dan menjadi perhatian bagi para peneliti dan media, karena termasuk sangat jarang terjadi pada masa lampau. Perubahan Iklim dan pemanasan global sering menjadi kambing hitam. Banyak pihak kemudian menuduh bahwa suhu bumi yang terus memanas menjadi penyebab tumbuhnya siklon tropis di lokasi yang tidak biasanya.
Laut memanas, badai menguat
Ilmuwan Iklim telah mengetahui berdasarkan penelitian bahwa badai tropis dapat terbentuk bila dipenuhi beberapa syarat. Yang utama adalah adanya suhu permukaan laut sekitar 27°C dan lebih hangat dari sekitarnya. Syarat lainnya adalah adanya beda arah dan kecepatan angin atau disebut ‘geser angin’ pada ketinggian yang berbeda di bagian atmosfer bawah (low level vertical wind shear) disertai dengan potensi kepusaran udara yang cukup besar dalam cakupan yang luas [2]. Hasil penelitian beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa di beberapa wilayah samudera telah terjadi penghangatan permukaan laut sebesar 0.25° – 0.5°C. Karena laut dapat menyimpan panas lebih lama daripada daratan dan atmosfer, maka akumulasi sumber energi dan penguapan oleh kolom air laut yang lebih hangat juga lebih besar.
Pakar meteorologi dari Massachusetts Institute of Technology, Kerry Emanuel, telah mendokumentasikan bukti dari data observasi bahwa daya/kuat badai tropis telah meningkat secara substantive. Hal itu ditunjukkan oleh integral kolom kecepatan angin terhadap waktu pada saat kejadian badai di daerah Samudera Pasifik Barat dan Atlantik dalam rentang 40 tahun terakhir [3]. Penemuan ini mendukung hasil kajian lainnya yang menunjukkan adanya peningkatan signifikan secara global dari proporsi badai paling berbahaya pada periode 1975 – 2004, baik frekuensi kejadian maupun durasi lama hari badai bertahan.
Gambar 1. Tren Badai Tropis dan Siklon Tropis di Samudera Hindia bagian Selatan 1961 – 2016 (Sumber: Pengolahan Data Joint Typhoon Waring Center dan Klotzbach (2006))
Kekuatan badai diukur dengan skala Saffir Simpson atau skala Hurikan, dan badai paling berbahaya berskala Hurikan kategori 3, 4, dan 5. Kajian penulis menggunakan data Joint Typhoon Warning Center (JTWC) terhadap kejadian Siklon Tropis di Samudera Hindia bagian Selatan pada periode 1961 – 2016 menemukan indikasi tren yang signifikan secara statistik untuk peningkatan frekuensi badai tropis kategori berbahaya tersebut (Gambar 1). Data tersebut mencakup kejadian Sikon Tropis wilayah Samudera di selatan Indonesia. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh beberapa wilayah pembentukan badai tropis di Samudera lainnya di Atlantik dan Pasifik.
Badai Tropis di area tanggung jawab Pusat Peringatan Badai Indonesia
Sejak tahun 2006, BMKG mendapatkan mandat dunia untuk memberi peringatan badai apabila ada pertumbuhan badai di dalam wilayah tanggung jawabnya, yaitu 90°-125° BT, 0°-10° LS. Pusat Peringatan Badai itu dinamai Jakarta Tropical Cyclone Warning Center atau Jakarta TCWC. Pada periode 2008 – 2018, Jakarta TCWC telah memberi nama dan memantau secara intensif setidaknya 6 badai ternamai dalam kategori berbahaya, yaitu: (1) Badai Durga pada April 2008 yang menyebabkan cuaca ekstrim di sejumlah wilayah di Indonesia. (2) Siklon Anggrek 2010 menyebabkan angin kencang lebih dari 25 knots dan tinggi gelombang lebih dari 4 meter terjadi di perairan sebelah barat Bengkulu. (3) Siklon Bakung 2014 yang berdampak gelombang laut setinggi 2-3 meter di Perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan dan Perairan selatan Jawa. (4) Siklon Cempaka 2017 tumbuh di perairan Selatan Jawa Tengah, dan (5) Siklon Dahlia 2017 menyebabkan cuaca ekstrim di beberapa wilayah di Jawa dan gelombang tinggi 4 hingga 5 meter di Samudera Hindia selatan Jawa. Cempaka dan Dahlia merupakan kakak beradik siklon yang tumbuh cuma berselisih 3 hari. Ini adalah pertama dalam sejarah. Baru baru ini, (6) Siklon Flamboyan yang tumbuh di Samudera Hindia barat Sumatera pada April lalu menyebabkan tinggi gelombang laut 2,50 – 4,0 meter.
Secara klimatologis, pada bulan Januari – Februari – Maret, sekitar 14% – 23% badai terjadi di wilayah Samudera Hindia antara Indonesia-Australia dari rerata kejadian histori data 56 tahun terakhir. Sementara Juli – Agustus – September – Oktober merupakan puncak musim badai di wilayah Samudera Pasifik bagian barat utara Indonesia dengan rerata kejadian 10% – 20% [4].
Badai Tropis dalam pemanasan global hingga 3°C hingga akhir abad 21
Korban jiwa dan harta dampak banjir yang disebabkan siklon tropis Cempaka mungkin merupakan yang terbanyak dari korban bencana hidrometeorologi lainnya yang terjadi di Indonesia. Posisi lintasan yang sangat dekat dengan selatan Pulau Jawa juga mungkin yang pertama dalam sejarah badai selama ini, meskipun tahun 2009 siklon Kirrily mulai pembentukannya di sekitar Kepulauan Kei dan menjadi badai tropis yang tumbuh paling dekat dengan ekuator.
Hingga sekarang masih terjadi perdebatan di kalangan ilmuwan iklim apakah benar perubahan iklim dan pemanasan global memicu peningkatan frekuensi dan intensitas serta pergeseran lintasan kejadian siklon tropis atau tidak.
Pengaruh pemanasan global terhadap perubahan iklim biasanya dikaji dengan pemodelan komputer yang mengacu pada skenario peningkatan emisi CO2 global level tertentu (Representative Concentration Pathways/RCP). Proyeksi model perubahan iklim dilakukan hingga akhir abad 21 (tahun 2100). Dengan skenario emisi CO2 terburuk (RCP8.5), kenaikan suhu global dapat tembus hingga 3°C. Dari kajian skenario perubahan iklim level CO2 menengah (RCP4.5) ditemukan indikasi peluang terjadinya peningkatan curah hujan ekstrem akibat dampak siklon tropis secara global di masa mendatang [5]. Terdapat pula kemungkinan peningkatan intensitas siklon tropis dan peningkatan siklon tropis kategori berbahaya (kategori Hurikan 4 dan 5) sementara frekuensi siklon tropis yang lebih lemah kategorinya cenderung menurun tren-nya. Hal itu menguatkan pada perubahan linear dari data siklon saat ini dan mengindikasikan peningkatan risiko bencana terkait siklon tropis ini di masa depan. Strategi adaptasi dan mitigasi yang terukur dan terencana diperlukan.
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim itu menuntut dua hal, pertama mengurangi sumber bencananya, -dan ini kecil kemungkinannya karena terkait faktor alam dan perubahannya-, lalu kedua adalah menyediakan sistim peringatan dini yang handal dan pengurangan risiko bencana melalui ketangguhan masyarakat. Sistim peringatan dini yang handal dan efektif memerlukan pemahaman sains dan pemanfaatan teknologi yang lebih baik, sementara ketangguhan masyarakat dapat dibangun dengan meningkatkan literasi dan kepedulian publik terhadap bencana. Hal ini mungkin kita lakukan dengan dukungan dan tanggung jawab bersama, pemerintah dan rakyat, baik secara struktural maupun kultural.
Maka kiranya patut kita renungkan bersama, sudah sejauh mana kepedulian dan persiapan bersama itu. ####
Referensi:
- Kompas, Selasa 5/12/2017
- Hannigan, E. (2017). What Are the Three Weather Conditions Under Which a Tropical Cyclone Usually Develops? diakses dari https://sciencing.com/three-tropical-cyclone-usually-develops-7525459.html pada tanggal 23 Mei 2018
- Balaguru, dkk. (2017). Global warming-induced upper-ocean freshening and the intensification of super typhoons diakses dari https://www.nature.com/articles/ncomms13670 pada tanggal 23 Mei 2018
- (2018). Musim Siklon di sekitar Indonesia, diakses dari http://web.meteo.bmkg.go.id/id/component/content/article/37-siklon-tropis/273-musim-siklon-di-sekitar-indonesia pada tanggal 23 Mei 2018.
- Geophysical Fluid Dynamics Laboratory (GFDL) – NOAA. (2018). Global Warming and Hurricanes: An Overview of Current Research Results diakses dari https://www.nature.com/articles/ncomms13670 pada tanggal 23 Mei 2018
(Afiliasi BMKG dan HAGI)
Penulis : Siswanto, M.Sc