Monumen Tsunami Banyuwangi

Banyuwangi, kota paling ujung pulau Jawa memang memiliki kawasan yang eksotis. Deretan pantai yang cantik berada di wilayah pesisir, seperti Pantai Cemara, Pantai Boom, Pantai Mustika dan Pulau Merah. Akan tetapi, pesisir selatan Banyuwangi ternyata memiliki sejarah kelam yang sampai sekarang masih dikenang oleh masyarakat.

Ya, sejarah kelam itu tsunami yang terjadi pada tahun 1994 silam, atau masyarakat sana menyebutnya dengan Jumat Pon. Kenapa bisa seperti itu? Coba baca cerita lengkapnya di sini!

Pada saat rombongan Ekspedisi Desa Tangguh Bencana Tsunami (Destana) yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersinggah ke Banyuwangi, lelaki paruh baya warga Dusun Pancer bercerita tentang kejadian tsunami 1994.

Yasin bersaksi bawah Jumat, 2 Juni 1994 tsunami menerjang kampung halamannya pada pukul 02.00 WIB dan menyebabkan 229 jiwa meninggal dunia. Ia mengatakan banyu lampeg menghabisi semuanya saat warga terlelap. Yap, mereka menyebut tsunami dengan sebutan banyu lampeg. Bukan hanya di Banyuwangi, ada bahasa lain lho dalam penyebutan tsunami dari berbagai daerah di Indonesia, baca di sini!

Karena tidak adanya peringatan dini, persiapan dan pengetahuan yang dimiliki warga pada saat itu, korban yang terkena dampaknya sangat banyak. “Banyu Lampeg itu datang begitu cepat. Orang sini masih belum tau apa itu tsunami. Orang kala itu teriak ‘segarane banjir!’. Korban berjatuhan,” kenang Yasin.

Nyatanya, warga Desa Pancer baru mengenal istilah tsunami setelah peristiwa Aceh pada 2004 lalu. Pemerintah di bawah Presiden Soeharto saat itu juga belum siap dalam menanggulangi bencana. Pengurangan risiko bencana juga belum dilakukan pasca tsunami terjadi. Hal itu diketahui dari pembangunan hunian tetap (huntap) berukuran sekitar 7×10 meter oleh pemerintah saat itu masih dibangun di lokasi yang sama. Artinya warga tersebut masih terpapar ancaman yang serupa.

Dalam pertemuan itu, Lilik Kurniawan (Deputi Bidang Pencegahan BNPB) merasa prihatin karena warga di desa itu masih banyak kelompok rentan dan tidak memiliki pengetahuan mengenai tanggap darurat terhadap ancaman bencana di wilayahnya. Oleh karena itu, Lilik sangat berharap agar kegiatan Destana ini tidak hanya menjadi kegiatan sepintas saja, tapi warga yang dekat dengan ancaman bencana harus mendapat pengetahuan agar mereka lebih siap dalam menghadapi ancaman tersebut.

Kalau ada bencana nggak ada korban. Tujuannya itu. Saya harap kegiatan ini tidak cuma seremonial, tapi juga akan dibawa seterusnya. Agar masyarakat lebih tangguh“, kata Lilik.

Disasterizen, ternyata untuk mengenang peristiwa tsunami 1994, warga Desa Pancer membangun monument tsunami lho di depan balai desa setempat. Selain untuk mengenang peristiwa 25 tahun silam, monumen tersebut juga didirikan dengan tujuan untuk memberi pembelajaran kepada generasi penerus, agar selalu ingat dan belajar dari peristiwa tsunami.

Tuh kan Disasterizen, sebenarnya negara kita ini rawan akan gempabumi dan tsunami, bahkan sudah ada sejak zaman dahulu. Makanya yuk kita belajar bersama-sama untuk mengurangi risiko terjadinya bencana di sekitar kita! (MA)

Sumber : BNPB