Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan kerugian fisik, material, kerusakan lingkungan, serta korban jiwa. Oleh sebab itu, diperlukannya upaya pengurnagan risiko bencana gempa tektonik baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran serta meningkatkan kemampuan masyarakt dalam menghadapi ancaman bencana kedepannya.
Pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana dapat dilakukan melalui kearifan lokal masyarakat. Mitigasi bencana berbasis kearifan lokal masyarakat sangat diperlukan untuk daerah yang sering terjadi bencana.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Nuwewang, Maluku Barat Daya. Mereka memliki kearifan lokal berbasis mitigasi bencana seperti membangun rumah adat yang tahan gempa dan memiliki budaya hnyoli lieta yang merupakan falsafah hidup masyarakat untuk selalu hidup rukun dan damai, saling tolong menolong ketika terjadi bencana. Upaya pengenalan kearifan lokal khususnya terkait pengelolaan lingkungan dan bencana sangat bermanfaat untuk menggali kekayaan sistem sosial budaya masyarakat.
Rumah dengan kontruksi tradisional merupakn salah satu unsur dalam mitigasi bencana di Desa Nuwewang. Dalam membangun rumah, masyarakat di Desa Nuwewang masih menggunakan alat dan bahan yang sangat sederhana dan menjunjung tinggi nlai lingkungan. Bangunan adat umumnya berbentuk sama berupa rumah panggung sederhana dari kayu, bambu, dan daun kelapa atau dalam bahasa daerah Nuwewang dikenal dengan sebutan nurtawi.
Bangunan tradisional yang ada di Desa Nuwewang menunjukkan bahwa lingkungan masih menjadi tujuan utama untuk mengambil bahan dan menjadikannya sebagai bahan untuk membangun rumah adat maupun rumah untuk tempat tinggal. Konstruksi yang masih sangat tradisional ini juga menunjukkan bahwa modal sosial juga turut digunakan dalam proses membangun. Berbasis pada pengetahuan lokal yang dimiliki, masyarakat Nuwewang dapat membangun rumah dengan mengoptimalkan potensi alam yang ada.
Konstruksi bangunan rumah menggunakan bahan yang berasal dari lingkungan sendiri seperti kayu dan bambu. Struktur bangunan rumah menggunakan sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang persegi panjang. Struktur penutup dinding terbuat dari papan kayu koli yang dibiarkan warna dan karakter aslinya. Semua detail konstruksi diselesaikan dengan prinsip ikatan, alas, pasak, alas nempel, dan sambungan terkait.
Selain itu, masyarakat sekitar pun memiliki budaya yang secara turun temurun mereka terapkan, yaitu budaya Hnyoli Lieta. Hnyoli Lieta yang merupakan falsafah hidup masyarakt di sana mengaharuskan mereka untuk selalu hidup rukun dan damai, saling tolong menoling, termasuk di dalamnya såaling tolong menolong saat terjadi bencana atau musibah.
Ketika terjadi bencana, maka masyarakat dengan spontan berteriak Opruru Ampuapena o yang artinya tanah goyang sudat datang. Teriakan tersebut dilakukan sambil berlari dan selanjutnya ada nada bunyi tifa dan sifar sebagai penanda telah terjadi bencana.
Hal ini bertujuan untuk mengajak atau mengingatkan masyarakat telah terjadi bencana gempa, sehingga masyarakat dapat keluar rumah untuk mencari tempat yang aman seperti di lapangan terbuka. Selain itu, sebagai upaya terhindar dari ahaya gempa, maka masyarakat memangun tempat tinggal yang baru atau biasa disebut tenda untuk melindungi orang tua dan anak-anak.
Masyarakat Desa Nuwewang dengan pengetahuan lokal yang dimiliki juga menghadapi bencana gempa dengan membangun tempat tinggal di lapangan terbuka dengan tujuan agar terhindar dari reruntuhan bangunan maupun pohon-pohon.
Pengetahuan lokal yang dimiliki merupakan modal sosial bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri ketika terjadi bencan. Pada aspek lain, masyarakat Nuwewang masih menerapkan pola kesadaran gotong royong sebagai masyarakat yang pernah mengalami bencana.