I. Pendahuluan
Perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi di bumi dewasa ini dengan dampak yang dapat merugikan bagi seluruh kehidupan. Perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi secara signifikan dari pola-pola cuaca (suhu di atmosfer dan di laut, curah hujan, pola angin, dan variabel lainnya) yang dihitung berdasarkan statistik dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun lamanya dalam cakupan regional maupun global. Perubahan iklim bisa terjadi karena faktor keragaman (variability) iklim itu sendiri maupun akibat dari pemanasan global (global warming) dan perubahan lingkungan (misal: perubahan komposisi atmosfer dan tata guna lahan). Penyebab utamanya bisa dikarenakan aktivitas manusia (humanmade/anthropogenic factor) ataupun faktor alam (nature) seperti fenomena iklim La Nina-El Nino, dll. Analisis Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menemukan bahwa di seluruh dunia antara periode tahun 2003 dan 2013, dalam studi jumlah rata-rata tahunan bencana yang disebabkan oleh semua jenis bencana alam, termasuk peristiwa terkait iklim, hampir meningkat dua kali lipat sejak tahun 1980-an1. Sementara itu, hingga akhir 2015 saat konsensus Paris Agreement disepakati, penelitian menunjukkan bahwa kenaikan suhu global telah melebihi 1°C dari zaman pra-industri. Penyebab dominannya adalah aktivitas manusia. Meski tersirat ada keinginan negara-negara untuk komitmen warming maksimum1.5°C, tetapi dengan tren emisi karbon sekarang, suhu global bisa tetap naik ~3°C.
Proyeksi perubahan iklim model-model iklim yang disimulasikan oleh konsorsium antar bangsa untuk perubahan iklim (IPCC) mengindikasikan kenaikan suhu global 2°C diprediksi terjadi pada ~2050 untuk skenario bussiness as usual (BAU/RCP4.5), bisa lebih cepat ~2040 pada skenario terparah (RCP8.5). Downscale ke lingkup regional, kenaikan suhu itu bisa terjadi pada ~2040 (skenario BAU) di Indonesia. Untuk suhu udara Jakarta, berdasarkan data observasi 135 tahun sejak era kolonial, artikel Siswanto (2016)2 pada Int’l Journal of Climatology menunjukkan kenaikan 1.5°C telah terjadi tahun 1997 -saat super El Nino kala itu-, lalu cenderung turun-naik di kisaran itu. Dalam kondisi atmosfer yang terus menghangat sampai 1.5°C, sifat iklim kita akan berkecenderungan menjadi “lebih kuyup saat musim basah”, dan “lebih kerontang saat musim kering”, tetapi ada juga peluang iklim menjadi “tak menentu” (chaotic). Maka ancaman cuaca buruk dan kekeringan ekstrem meningkat. Bencana banjir, longsor, kelangkaan air, kebakaran hutan akan bisa silih berganti sepanjang tahun. Secara teori, pemanasan 2°C pada ruang atmosfer kita bisa menambahkan kapasitas tangkap atmosfer terhadap uap air dan menambahkan 14% energi penggerak siklus air di permukaan dan atmosfer bumi.
Indonesia adalah laboratorium bencana dengan 13 jenis bencana di dalamnya. Sejarah kejadian bencana menunjukkan ada peningkatan bencana dari waktu ke waktu. Meningkatnya faktor kerentanan dan masih terbatasnya kapasitas juga menyebabkan risiko bencana makin meningkat di masa mendatang. Hal ini menjadi tantangan dalam penanggulangan bencana. Pemahaman terhadap iklim dan perubahannya mendukung proses antisipasi bencana dan membantu pengambil keputusan pada semua level untuk membuat keputusan – tidak saja yang terbaik, tetapi juga membawa manfaat yang besar bagi kemaslahatan kehidupan orang banyak.
Perubahan iklim mempengaruhi hampir seluruh sektor sosio-ekonomi, dari pertanian hingga pariwisata, dari infrastruktur hingga kesehatan. Perubahan iklim memberi pengaruh yang kuat terhadap sumber- sumber strategis seperti air, pangan, dan energi. Perubahan iklim dapat menghambat bahkan mengancam sustainable development. Tanggap potensi bencana perlu dilakukan untuk mereduksi potensi bahaya atau kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
II. Dampak Perubahan Iklim di Lingkungan Pesisir dan Laut
Dampak perubahan iklim pada lingkungan pesisir dan laut bisa terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain: asidifikasi air laut, meningkatnya suhu permukaan air laut, menaiknya permukaan air laut, intensitas dan frekuensi terjadinya gelombang ekstrem dan ancaman gelombang pasang. Dampak turunannya mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang (coral bleaching dan melemahnya struktur aragonite karang), perendaman atau pergeseran formasi bakau ke arah daratan, algal heating, menurunnya kemampuan reproduksi ikan, perubahan ratio-sex pada penyu dan perubahan susunan rakitan spesies.
Pemanasan global merupakan penyebab dan juga indikator pertama yang bisa dirasakan dari perubahan iklim. Penelitian menunjukkan kenaikan suhu udara global telah melebihi 1°C dari zaman pra-industri. Pemanasan global sebagian besar (80%) akan diserap oleh lautan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1961, peningkatan suhu air laut teramati mencapai kedalaman 3.000m. Pemanasan ini membuat volume air laut mengembang (thermal expansion) dan menjadi salah satu sebab meningkatnya permukaan air laut. Meningkatnya suhu permukaan bumi juga menyebabkan mencairnya es di kedua kutub bumi. Kedua fenomena ini akan menyebabkan semakin meningkatnya permukaan air laut ke arah darat.
Dari pengamatan terhadap permukaan air laut selama ini, air laut diperkirakan akan mengalami peningkatan antara 60 – 100cm dalam 100 tahun ke depan. Bagi Indonesia, meningkatnya permukaan air laut bisa menenggelamkan beberapa gugus pulau karang dan mengancam keberadaan dermaga dan pelabuhan3. Bila pulau-pulau tersebut merupakan gugus pulau terluar sebagai tempat untuk mengukur batas yurisdiksi, maka hal ini bisa mempengaruhi kedaulatan negara pada akhirnya. Departemen Kelautan dan Perikanan sedang melakukan studi kemungkinan sejumlah pulau yang akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut.
Meningkatnya permukaan air laut akan mempengaruhi keberadaan formasi lingkungan pantai, seperti hutan bakau. Pada kondisi normal, diduga hutan bakau bisa beradaptasi terhadap peningkatan permukaan air laut. Karena terjadinya secara perlahan, maka hutan bakau akan beradaptasi untuk tumbuh ke arah daratan. Namun pada saat sebagian besar hutan bakau sudah terisolasi oleh konstruksi atau bangunan di bagian daratan, peluang untuk mengalami adaptasi menjadi hilang, kecuali pada tempat-tempat di mana formasi lingkungan pesisir masih cukup alami4.
Berubahnya pola-pola cuaca dan iklim juga diyakini sebagai bagian dari perubahan iklim. Ketidak menentu-an antara musim dengan banyak hujan dan musim dengan curah hujan rendah juga mempengaruhi sosial-ekonomi masyarakat pesisir. Perubahan yang cepat dari cuaca buruk dan ekstrem juga mempengaruhi aktivitas kelautan masyarakat.
III. Bencana Kelautan dan Musibah Transportasi
Bencana kelautan adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang terjadi di laut yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana laut yang disebabkan oleh faktor alam contohnya adalah gelombang tinggi akibat badai siklon, tsunami, gelombang pasang dan abrasi pesisir. Gelombang tinggi yang ditimbulkan oleh efek dari siklon tropis di sekitar wilayah Indonesia dapat berpotensi kuat menimbulkan bencana alam. Indonesia bukan daerah lintasan siklon tropis tetapi keberadaan siklon tropis akan memberikan pengaruh kuat terjadinya angin kencang, gelombang tinggi disertai cuaca buruk. Tsunami yang merupakan serangkaian gelombang ombak laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi juga terbukti menimbulkan bencana dahsyat seperti Tsunami Aceh 2004. Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Kerusakan garis pantai bisa mengancam kedaulatan negara. Abrasi dapat merusak pelabuhan dan dermaga, merugikan sektor pariwisata, dan merusak hutan bakau, juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat pantai. Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi.
Korban jiwa dan kerugian besar juga bisa ditimbulkan oleh bencana moda transportasi laut (musibah transportasi laut). Data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan jumlah kecelakaan kapal dari tahun 2007 – 2010 sebanyak 548 buah kapal dari berbagai jenis kecelakaan dengan jumlah korban jiwa sebanyak 736 orang. Tren kecelakaan kapal laut meningkat sebesar 9,5% dari tahun 2000-2010. Dari data statistik terlihat bahwa faktor utama penyebab kecelakaan di laut umumnya terjadi akibat faktor alam yakni sebesar 41 persen dan 35 persen akibat kelalaian manusia, sedangkan sisanya merupakan faktor teknis5. Faktor cuaca buruk merupakan permasalahan yang sering kali dianggap sebagai penyebab utama dalam kecelakaan laut. Permasalahan yang biasanya dialami adalah badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim/badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas.
Di antara kesalahan manusia yang mengakibatkan kecelakaan laut adalah kecerobohan di dalam menjalankan kapal, kekurangmampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, dan kapal secara sadar membawa muatan secara berlebihan (overload capacity). Dalam taksonomi human error, kesalahan yang terjadi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai mistake dikarenakan kurangnya pengetahuan serta rule atau peraturan yang tidak ditaati secara sadar yang mengakibatkan wrong action executes.
IV. Strategi Pengurangan Dampak Perubahan Iklim dan Bencana Kelautan
Pada dasarnya terdapat beberapa strategi yang dapat diambil untuk mengurangi dampak merugikan dari bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan cuaca buruk. Strategi pertama adalah dengan sama sekali menghilangkan atau secara signifikan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana atau apabila bencana itu tidak mungkin dihilangkan maka adalah dengan menghindarkan diri dari dampak buruk dan kerugiannya (mekanisme antisipasi). Antisipasi dilakukan melalui upaya adaptasi dan mitigasi. Mekanisme adaptasi pada dasarnya adalah bagaimana menghindarkan diri dari dampak langsung bencana, atau jikalau menghindari bencana tidak mungkin, strategi berikutnya adalah mengurangi besarnya dampak dan keganasan bencana dengan mengubah karakteristik ancaman, meramalkan atau mendeteksi potensi bencana (early warning system/EWS, sistem peringatan dini), atau mengurangi kerentanan dengan memperbaiki unsur-unsur struktural dan non-struktural pemerintah-masyarakat untuk bisa menghindari atau menanggulangi bencana dengan tepat dan efektif sehingga kerugian dapat dikurangi (mekanisme mitigasi). Strategi terakhir mencakup upaya meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dengan secepatnya memulihkan diri dan membangun kembali setelah terjadi bencana (mekanisme rehabilitasi) sembari menguatkan diri untuk bersiap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana di masa depan (mekanisme kesiap-siagaan). Sehingga strategi penanggulangan bencana tidak terbatas pada tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana saja, tetapi juga meliputi upaya membangun ketangguhan masyarakat untuk menghadapi ancaman bahaya.
Mekanisme Adaptasi dan Mitigasi
Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan terhadap dampak perubahan iklim global dan regional terdiri dari komponen: pengelolaan bentang laut (sea scape management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan ‘resilient principles’ dalam pembangunan jejaring kawasan konservasi laut, mitigasi bencana kelautan, rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang terancam punah. Semua komponen dalam rencana kerja ditujukan untuk melindungi ketersediaan sumber daya hayati laut dan mengurangi dampak kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global.
Dalam kaitan mitigasi bencana kelautan, BMKG -menurut UU MKG No. 31 tahun 2009- adalah satu-satunya instansi yang berkewajiban menyediakan informasi cuaca dan gelombang laut di wilayah NKRI. Ini menjadi tantangan dan peluang bagi BMKG untuk dapat berperan secara maksimal dalam upaya memberikan informasi dan peringatan dini cuaca dan gelombang laut yang menunjang keselamatan aktivitas masyarakat di laut. Dalam Rencana Induk BMKG Tahun 2015 – 2045 yang tertuang dalam Perka BMKG Nomor 5 Tahun 2014, BMKG memiliki tugas pokok dan fungsi memberikan dukungan pengembangan industri kelautan dan mitigasi bencana laut dan pesisir yang meliputi: perhubungan laut, jasa kelautan, industri kelautan, perikanan, wisata bahari, bangunan laut, dan energi & sumber daya mineral di laut. Hal ini menunjang program pemerintah dan nawa-cita pembangunan (PERPRES No. 2 Tahun 2015) yaitu salah satunya adalah terwujudnya program pengembangan ekonomi maritim dan kelautan. Indonesia memiliki 24 pelabuhan strategis dengan lokasi yang sangat strategis yang merupakan jalur penyeberangan dari Samudera Pasifik ke Hindia atau sebaliknya.
Dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keselamatan, kelancaran, dan efisiensi bagi operasi pelayaran, BMKG kini mengembangkan prakiraan cuaca berbasis dampak (impact based forecasting) dan sistim peringatan dini berbasis risiko (risk based early warning) yang mengacu pada panduan pelayanan organisasi meteorologi dunia, WMO6. Di antara produk informasi dan sistim peringatan dini yang sudah dilayankan adalah Prakiraan Cuaca untuk Pelayaran, Prakiraan Cuaca Pelabuhan, Prakiraan Tinggi Gelombang Harian & Mingguan, Prakiraan Cuaca wilayah Perairan, Prakiraan Cuaca Jalur Penyeberangan, Peringatan Dini Gelombang Tinggi, Informasi dan Analisa Cuaca untuk Kecelakaan Kapal. Produk-produk informasi tersebut di-diseminasi-kan melalui otoritas stasiun radio pantai, syahbandar, perusahaan pelayaran, dinas kelautan dan perikanan, DITPOLAIRUD, untuk diteruskan ke kapal-kapal yang akan dan tengah berlayar, para nelayan, dan kapal patroli POLAIR. Informasi langsung juga bisa didapatkan langsung masyarakat melalui display informasi cuaca di pelabuhan-pelabuhan dan atau berita media massa.
Saat ini BMKG terus berbenah dan mengembangkan diri dalam rangka mengembangkan sistim peringatan dini (EWS) yang efektif. EWS yang efektif setidaknya membutuhkan 4 keandalan yaitu keandalan dalam sistim deteksi, monitor, dan prediksi adanya bencana dan atau potensi dampaknya, keandalan dalam analisis risiko dari bencana tersebut, keandalan dalam sistim diseminasi dan waktu efektif dari EWS tersebut (harus berada dalam otoritas pemerintah), serta keandalan pemerintah-masyarakat dalam aktifnya persiapan dan tanggap darurat yang terencana dalam menanggapi bencana.
BMKG kini mengoperasikan 10 Stasiun Meteorologi Maritim dan 10 Stasiun Meteorologi yang ditunjuk melayani maritim untuk tujuan di atas. Jaringan Stasiun Meteorologi maritim dirasa masih sangat kurang. BMKG mengusulkan adanya pengembangan jaringan stasiun meteorologi maritim dan stasiun yang ditunjuk untuk melayani meteorologi maritim sebagai bagian dari upaya mitigasi struktural. Upaya mitigasi non-struktural dilakukan BMKG dengan terus melakukan kegiatan yang memperkenalkan dan meningkatkan pemahaman Informasi Kemaritiman dari BMKG yang terkait kegiatan Nelayan dan Pesisir melalui Sekolah Lapang Cuaca Nelayan, serta membangun sistem informasi yang efektif antara BMKG-Penyuluh-Pelaku usaha pesisir dan kelautan.
BMKG melalui pendanaan dari Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui kegiatan Training of Trainers (TOT) Perubahan iklim untuk sektor kelautan dan perikanan7. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada penyuluh di sektor perikanan nelayan mengenai informasi perubahan iklim yang terkait dengan aktivitas perikanan yang disediakan oleh BMKG. ICCTF adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh pemerintah Indonesia dengan tujuan memberikan kontribusi secara efektif dan efisien untuk pengarus-utamaan isu perubahan iklim dalam perencanaan pemerintah dan pelaksanaan kegiatan perubahan iklim di seluruh Indonesia dengan menarik, mengelola dan memobilisasi pendanaan yang mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi emisi, ekonomi rendah karbon dan dapat beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. BMKG bersama ICCTF menyusun modul bagi penyuluh perikanan dan kelautan yang berisi 8 (delapan) modul yaitu Pengenalan Iklim dan Perubahan Iklim, Fungsi dan Peran Penting Ekosistem Pesisir dan Laut, Karakteristik Laut Indonesia dan Dampak Perubahan Iklim, Dampak Perubahan Iklim Pada Ekosistem Pesisir dan Laut, Dampak Perubahan Iklim Pada Kegiatan Perikanan dan Ketahanan Pangan, Upaya Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, Memahami Informasi Iklim dan Perubahan Iklim, Teknik atau Metode Penyuluhan Terhadap Pelaku Utama dan Pelaku Usaha.
Selain itu, BMKG juga terlibat aktif dalam kerjasama penelitian dengan berbagai lembaga-lembaga dalam maupun luar negeri dalam rangka mendeteksi, memonitor, dan mengkaji perubahan-perubahan yang terjadi dalam suhu dan tinggi permukaan laut wilayah Indonesia, dampaknya terhadap cuaca dan iklim di wilayah Benua Maritim, dampaknya terhadap terumbu karang (coral bleaching).
V. Simpulan
Perubahan iklim global dan regional telah dan akan memberikan dampak nyata pada kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Dampak yang paling nyata sudah terlihat melalui peristiwa kerusakan biota dan lingkungan pesisir, serta berkaitan dengan meningkatnya kejadian bencana kelautan. Negara-negara dengan potensi sumber daya kelautan cukup besar, di antaranya Indonesia, harus terencana dalam melakukan adaptasi dan mitigasi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan tanggap terhadap bencana kelautan yang mengancam.
Siswanto dan Agus Wahyu Rahardjo
Pusat Meteorologi Maritim, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
1 http://www.antaranews.com/berita/531982/perubahan-iklim-kikis-mata-pencaharian-sektor-pangan
2 http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/joc.4548/abstract
3 http://finance.detik.com/read/2016/08/25/191510/3283790/4/gencar-bangun-pelabuhan-ri-perluperhatikan-
6-hal-ini
4 Terry Done, Peter Whetton, Roger Jones, Ray Berkelmans, Janice Lough, William Skirving, and Scott
Wooldridge [2003]. Change and Coral Bleaching on the Great Barrier Reef. Queensland Government
Department of Natural Resources and Mines Global Climate ISBN 0 642 32220 1
5 http://dephub.go.id/welcome/readPost/keselamatan-pelayaran-perlu-terus-dibenahi-meski-kecelakaankapal-
menurun-3787
6 WMO No 1150 (2015)
http://www.wmo.int/pages/prog/drr/projects/Thematic/MHEWS/MHEWS_en.html
7 http://www.lensaindonesia.com/2011/10/21/bmkg-beri-pembekalan-informasi-cuaca-terhadapnelayan
Penulis : Siswanto, M.Sc