Indonesia yang kaya akan budaya pasti memiliki ribuan sejarah di dalamnya, tak terkecuali sejarah bencana alamnya. Salah satunya adalah sejarah tsunami yang di alami oleh Desa Loli. Seperti apa kisahnya? Di bawah ini SiagaBencana.com akan menceritakannya ke kamu secara cuma-cuma!
Pada awalnya Desa Loli merupakan salah satu Kota Pitunggota Kerajaan Banawa, di bawah kendali Raja Banawa pada masa kemerdekaan. Kemudian Desa Loli menjadi sebuah kampung dengan kepala kampung pertamanya bernama Dey Pakunje.
Kemudian di tahun 1960 silam, Desa Loli berubah menjadi desa yang terbagi menjadi dua, yaitu bernama Loli Induk dan Loli Oge. Tidak sampai di situ saja, ternyata di tahun 2008 dilakukan perubahan sehingga Desa Loli terpecah menjadi lima desa, yaitu Loli Tasiburo, Loli Dondo, Loli Pesua, Loli Saluram, dan Loli Oge.
Baca juga : DANAU SANO NGGOANG : DANAU VULKANIK TERDALAM DAN TERBESAR DI INDONESIA
Nah, nama Desa Loli Pesua dan Loli Salura sangat erat kaitannya dengan sejarah kebencanaan. Cerita ini dimulai saat Desa Loli Pesua terjadi tsunami dan diceritakan kembali oleh Pi’ Dahe (Ibu dari Dahe), wanita kelahiran 1930, saksi korban tsunami pada tahun 1938. Ia menceritakan bahwa pada saat itu usianya masih berumur 8 tahun dan harus menyelamatkan diri bersama orang tuanya ke bukit untuk menghindari gelombang tsunami. Gelombang raksasa yang menyerang pada saat itu lebih dahsyat jika dibandingkan dengan tsunami 28 September 2018 lalu, menurut Pi’ Dahe.
Penamaan Desa Loli Pesua merupakan nama yang diabadikan sebagai pertanda bahwa daerah tersebut pernah terdampak tsunami di tahun 1938. Hal tersebut berasal dari kata Pesua Uwe Ntasi yang berarti ‘masuknya air laut’ (gelombang tsunami).
Beda halnya dengan Desa Pesua, penamaan Desa Loli Salura diambil dari nama bukit Njoura atau Soura yang mengartikan tebing. Tempat tersebut dahulunya dijadikan tempat untuk mengambil air Bangsawan, karena di tempat itu terdapat sumber mata air Bolovatu.
Akan tetapi, pengetahuan lokal yang dimiliki Desa Loli Salura sama dengan Desa Loli Pesua. Desa Salura dibekali dengan insting pengurangan risiko bencana, seperti saat terjadi gempabumi dan air laut surut mereka segera menuju bukit dan menjauh dari bibir pantai.
Hasil dari kearifan lokal masyarakat Desa Loli Pesua dan Salura tentang pengurangan risiko bencana berbuah manis, Disasterizen. Hal ini dibuktikan saat gempabumi dan tsunami menerjang desa mereka pada 28 September 2018 lalu. Penduduk dari kedua desa tersebut pada saat itu sekitar 1700 jiwa, namun saat gempa dan tsunami menyerang hanya 4 orang yang menjadi korban. Keempat orang tersebut merupakan lansia, padahal pada saat itu kerusakan bangunan di kedua desa mencapai 90%.
Ini adalah bukti bahwa kalau kita selalu merawat ingatan sejarah dan menerapkannya bisa menyelamatkan diri dari bahaya ancaman bencana. Selain itu, hal ini menjadi modal bagi masyarakat untuk melakukan evakuasi saat tsunami kembali menerjang. Oleh sebab itu, yuk teruskan kearifan lokal yang berbasis mitigasi bencana ke generasi berikutnya! (MA)