Indonesia yang kaya akan budaya dan adat, menjadi nilai plus dalam menghadapi ancaman bencana. Sebab, setiap budaya memiliki tradisinya sendiri dalam pengurangan risiko bencana. Misalnya saja masyarakat Jawa Barat!
Baca juga : BABAD LETUSAN GUNUNG KELUD 1919
Mitigasi Ancaman Bencana Masyarakat Jawa Barat
Bukan hal yang baru untuk masyarakat Jawa Barat dalam memelihara lingkungan dan menjaga sungai, sebab sudah tertulis dalam prasasti, naskah kuno dan diucapkan dalam tradisi lisan. Seperti di bawah ini yang tertulis dalam prasasti Batutulis!
Prasasti Batutulis
Semoga Selamat.
Ini tanda peringatan Prebu Ratu almahum.
Dinobatkan dia dengan nama Prebu Guru Dewataprana,
Dinobatkan dia dengan nama Sri Baguda Maharaja ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat parit Pakuan.
Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga,
cucu Rahiyang Niskala wasatu Kancana yang mendiang ke Nusalarang.
Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan,
menjadikannya sebuah bukit punden (hutan) untuk samida,
membuat telaga Renamahawijaya.
Ya, dialah itu.
Dalam tahun Saka 1455
(Saleh Danasasmita. 2006. Ya Nu Nyusuk Na Pakwan dalam Mencari Gerbang Pakuan, Seri Sundalana. Bandung: Pusat Studi Sunda).
Ada beberapa hal penting yang tertulis pada prasasti Batutulis dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, seperti hutan, sungai dan telaga. Sungai, dalam prasasti itu sering ditafsirkan sebagai parit pertahanan. Parit yang telah dibuat atas perintah Raja, harus dipelihara dengan baik sehingga fungsinya tetap terjaga. Raja juga memerintahkan untuk membuat dan memelihara hutan. Lalu ketika air melimpah, Raja memerintahkan untuk membuat telaga.
Dengan menjaga dan memelihara hutan sebagai sumber air dan memuliakan air, maka masyarakat Jawa Barat bisa mandiri dalam pangan dan gizi. Akan tetapi, saat gunung, hutan, sungai, dan telaga sudah ditinggalkan dan tidak dipelihara, maka lingkungan yang mana sebagai penyangga hidup menjadi menurun kualitasnya.
Selain itu, pada dasarnya masyarakat zaman dahulu memiliki cara sendiri dalam mengelola lahan, seperti adanya pembagian kelas pengelolaan kawasan; leuweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan. Sebagai contoh dan pembelajaan dari masyarakat Baduy, tidak semua lahan digarap menjadi lahan produksi.
Nah, ada renungan nih atas hancurnya lahan-lahan di Jawa Barat yang merenggut nyawa penduduknya, yaitu dari tulisan Tom Dale dan Vernon Bill dalam bukunya Topsoil dan Civilisation :
“Manusia beradab hampir selalu berhasil menguasai alam untuk sementara waktu. Kesulitan yang dihadapi terutama bersumber pada pikirannya, bahwa kekuasaan yang bersifat sementara itu dikiranya abadi. Dia menganggap dirinya ‘menguasai seluruh dunia’, padahal dia ta mampu mengetahui hukum alam sepenuhnya. Manusia, baik biadab maupun beradab, adalah anak alam, bukan tuan yang menguasai alam. Kalau dia mau mempertahankan kekuasaannya atas alam, dia harus menyesuaikan diri pada hukum-hukum alam. Jika mengelak, lingkungan yang mendukung hidupnya akan merosot, maka peradabannya akan memudar pula. Pada garis besarnya, sejarah manusia beradab yang berjalan di muka bumi meninggalkan padang pasir di jejak kakinya.” (MA)
Sumber : AyoBandung.com (T. Bachtiar)