Setiap tanggal 13 Oktober, Indonesia memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Peringatan ini tidak hanya dilakukan selama satu hari, melainkan selama sebulan, dengan beragam aktivitas yang sudah direncanakan sejak jauh hari.
Tahun ini, tema peringatan Hari PRB adalah ‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi Bencana’. Tema ini selalu relevan untuk dibicarakan. Apalagi, mengingat wilayah Indonesia yang rawan bencana. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah terjadi 1.805 bencana sejak Januari-Agustus 2021. Bencana tersebut didominasi oleh bencana hidrometeorologi yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Berkaitan dengan itu, timbul pertanyaan mendasar. Bagaimana cara mewujudkan ketangguhan menghadapi bencana bagi Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan sekitar 290 juta orang penduduk?
Penguatan kapasitas pemimpin lokal dalam penanggulangan bencana bisa menjadi salah satu solusinya. Apalagi, Indonesia memiliki beragam pulau, dengan kondisi sosial-budaya yang unik, juga demografi yang beragam. Maka, penanggulangan bencana tidak bisa tersentralisasi. Pemimpin-pemimpin lokal (Gubernur, Bupati, Kepala Dinas, Camat, Kepala Desa, tokoh masyarakat, pemimpin lembaga non-pemerintah, hingga pemimpin kaum muda) perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam mempersiapkan daerahnya untuk menghadapi bencana.
Demi membantu meningkatkan ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana, sejak Juli 2020, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) mengimplementasikan program kepemimpinan lokal dalam perlindungan dan kesiapsiagaan bencana (LLDPP). Program ini dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu di provinsi Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah. Ketiga wilayah ini belum lama terdampak bencana.
Tujuan utama dari program LLDPP adalah menguatkan kapasitas pemimpin lokal, yaitu orang pertama yang akan merespon bencana di daerahnya. Penguatan kapasitas dilakukan melalui berbagai pelatihan, pertemuan, juga simulasi penanggulangan bencana. Selain itu, dilakukan pula penguatan manajemen bencana, pembuatan rencana kontingensi, perumusan rencana penanggulangan kedaruratan bencana, hingga pembangunan pola koordinasi multipihak.
Sejak dimulainya pelaksanaan program hingga kini terdapat temuan mengenai hal-hal yang perlu diperkuat. Baik dari sisi pengetahuan maupun praktik seputar kebencanaan agar pemimpin lokal dapat mengambil peran sentral dalam penanganan bencana. Hal ini perlu dilakukan demi memastikan semua orang yang terdampak bencana, terutama kelompok rentan (anak, perempuan, lansia, orang dengan kebutuhan khusus) bisa mendapatkan kebutuhan dasar, perlindungan, hingga keamanan yang menjamin martabat mereka.
Berdasarkan pengamatan Plan Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki demi memperkuat kapasitas pemimpin lokal dalam menghadapi bencana. Pertama, terkait pengetahuan mekanisme koordinasi multipihak atau pentahelix (pemerintah, non-pemerintah, media, dunia usaha, dan akademisi). Sebab, kordinasi kerap menjadi masalah bagi para pemimpin lokal saat merespon bencana. Hal ini berakibat pada penanganan bencana yang kurang efektif, hingga timbulnya kebingungan dalam kordinasi saat bencana terjadi.
Melalui program LLDPP, Plan Indonesia bersama mitra konsorsium (ADRA Indonesia, RedR, MDMC, dan Pujiono Centre), mencoba membangun model kordinasi melalui pendekatan klaster penanggulangan bencana. Pembagian klaster ini didasarkan pada tugas dan fungsi masing-masing pihak yang terlibat. Diharapkan, pendekatan ini memudahkan semua pihak untuk berkoordinasi dan berkolaborasi, sesuai mandat organisasi pada fase sebelum, saat, dan sesudah bencana.
Hal kedua yang menjadi fokus Plan Indonesia dalam LLDPP adalah pengetahuan terkait standar inti kemanusiaan (core humanitarian standartd/CHS). CHS adalah pedoman bagi setiap orang atau organisasi yang terlibat dalam respon bencana, untuk memastikan kualitas bantuan atau intervensi yang diberikan. Melalui peningkatan pengetahuan CHS, para pemimpin lokal diharapkan memiliki kesempatan untuk merefleksikan respon bencana yang selama ini telah dilakukan, kemudian menyusun rencana untuk perbaikan respon selanjutnya. Banyak daerah yang belum pernah melakukan respon bencana atau belum memahami standar inti kemanusiaan tersebut. Maka, LLDPP menjadikan CHS sebagai salah satu materi penting dalam setiap pelatihan yang dilakukan.
Hal ketiga yang menjadi sasaran dalam program LLDPP adalah pengarusutamaan perlindungan kelompok rentan dalam penanggulangan bencana. Plan Indonesia mendorong agar setiap klaster dapat secara serius memperhatikan pemenuhan hak-hak kelompok rentan, termasuk perempuan, dalam penanggulangan bencana. Pengarusutamaan ini perlu masuk ke dalam skenario penanganan situasi darurat atau dalam dokumen rencana kontingensi, agar hak-hak kelompok rentan terpenuhi.
Selanjutnya, melalui LLDPP, Plan Indonesia mendorong terlaksananya simulasi kondisi darurat secara rutin. Tujuannya, agar para pemimpin lokal atau pembuat kebijakan bisa menerapkan pengetahuan dan SOP respon bencana dengan baik. Sehingga, mereka dapat merespons secara cepat dan tepat. Agar efeknya semakin menyeluruh simulasi ini dilakukan bersama seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan kelompok rentan. Harapannya, simulasi ini bisa terus dilakukan secara mandiri hingga tahun-tahun berikutnya.
Terakhir, Plan Indonesia menyoroti keterlibatan kaum muda, terutama perempuan, dalam penanganan bencana. Suara kaum muda terutama perempuan menjadi sangat penting guna memastikan bahwa penanggulangan bencana yang dilakukan benar-benar menjawab kebutuhan mereka. Selain itu, sebagai calon pemimpin bangsa di waktu mendatang, keterlibatan kaum muda dalam penanggulangan bencana akan menjadi sarana yang baik untuk mentransfer pengetahuan kebencanaan dari generasi yang lebih berpengalaman.
Dengan peningkatan kapasitas yang dibangun melalui program LLDPP, diharapkan akan ada semakin banyak masyarakat yang waspada dan sigap dalam menghadapi bencana. Peringatan bulan pengurangan risiko bencana tak sekadar menjadi simbol. Peringatan ini perlu menjadi momentum agar kita terus mengingat, bahwa konsekuensi tinggal di daerah rawan bencana adalah membangun ketangguhan dalam menghadapi bencana. Dengan adanya pemimpin lokal yang paham dengan baik mengenai penanggulangan bencana, maka ketangguhan bangsa dapat terwujud.
Oleh:
Enos Ndapareda
LLDPP Project Manager, Yayasan Plan International Indonesia