Oleh: Siswanto
- Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara, BMKG
- Vice President HAGI Divisi Meteorologi, Klimatologi dan Oseanografi
COP24, Katowice – Polandia
Dua pekan mulai 3 – 14 Desember 2018, telah berlangsung Conference of the Parties ke 24 atau lebih dikenal dengan sebutan COP24 di Katowice, Polandia. Negara-negara yang tergabung dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) tengah berkumpul dan terlibat dalam dialog fasilitatif dalam rangka menyusun aksi kolektif untuk mengimplementasikan tujuan jangka panjang Kesepakatan Paris. Selain itu, para pihak juga sedang mengkonfirmasikan kesiapan dan komitmen setiap negara dalam “kontribusi nasional yang ditentukan” (NDC) pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) mereka. Dialog yang dinamai Dialog Talanoa itu, sejatinya adalah berasal dari tradisi Fiji atau negara negara Pasifik yang menggambarkan proses dialog yang inklusif, partisipatorif dan transparan untuk membangun empati kolektif dan keputusan bijak bersama. Dalam COP24, dialog yang bertumpu pada storytelling atau “curhat” diharapkan lebih efektif bagi penuangan ide, gagasan, dan pengalaman peserta konvensi dalam menyusun rencana aksi dan target peningkatan ambisi nasional pra-2020.
Sebelum event COP24, berbagai pertemuan internasional sudah banyak digelar. Pertemuan yang mengumpulkan banyak pemimpin negara, bisnis, investor, lembaga-lembaga komunitas dan swadaya masyarakat sipil itu selalu menggarisbawahi perlunya tindakan transformasional dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim dengan semangat solidaritas. Termasuk diantaranya adalah Pertemuan Tahunan IMF-World Bank 2018 dan Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang keduanya dilaksanakan di Nusa Dua Bali bulan lalu. Hal positif dari pertemuan itu adalah tema sentral menuju implementasi Paris Limit 2°C. Sebagai misal, dalam IMF-World Bank 2018 summit meeting, Pembangunan Rendah Karbon and Green Economy menjadi topik yang serius dicari formulasi penerapannya. Hasil pertemuan OOC juga mendukung langkah penguatan kualitas komitmen dengan distribusi yang seimbang untuk setiap bidang tindakan pengendalian perubahan iklim, diantaranya: 305 komitmen nyata dan terukur, 10.7 miliar dolar AS sebagai bentuk komitmen moneter dan 14 juta km2 Kawasan Konservasi Laut.
Kesadaran kolektif akan implementasi Kesepakatan Paris 2015 melalui tindaklanjut aksi iklim yang nyata dinilai sangat penting. Tindaklanjut aksi iklim berupa pendanaan – baik publik maupun swasta – yang dapat diperkirakan besarannya, berkelanjutan dan transparan merupakan inti dari aksi iklim itu. Tindaklanjut aksi iklim juga sangat bergantung pada aksi negara-negara berkembang untuk sepenuhnya menerapkan tarjet NDC mereka sebagai bentuk komitmen terhadap Kesepakatan Paris, yaitu menekan laju suhu dunia tidak lebih 2°C, bahkan sebisa mungkin kurang dari 1,5°C sesuai laporan terbaru Lembaga Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim, IPCC. Kesepakatan Paris adalah bagian paling kolaboratif dari legislasi perubahan iklim dalam sejarah manusia dan telah memunculkan harapan baru dan nyata untuk pengendaliannya. Kesepakatan itu juga adalah janji pemerintah kepada rakyatnya untuk mengambil tindakan iklim kolektif dalam rangka melindungi warga negara. Pada COP24, harapan akan munculnya sinyal tambahan dan konkret mengenai prediktabilitas dan akuntabilitas agar Kesepakatan Paris dapat diimplementasikan sedang diperjuangkan.
Emisi Karbon kita dan 1,1°C Pemanasan Global saat ini
Laporan IPCC pemanasan dunia 1,5°C adalah sirene peringatan bagi umat manusia akan mendesaknya krisis iklim. Laporan itu merekomendasikan pengurangan emisi karbon dunia 45 persen pada tahun 2030 untuk mencegah dampak pemanasan yang merusak. Pengurangan laju pemanasan global 0,5°C dari target awal Paris Agreement ternyata membuat perbedaan besar dalam hal dampak; lebih dari yang sebelumnya dikenal. Lebih lanjut laporan itu menunjukkan instrument apa yang diperlukan untuk memenuhi tujuan pembatasan pemanasan kurang dari 1,5°C dapat dilakukan dalam lingkup sains secara teknis maupun ekonomi. Masalahnya kemudian ada pada political will saat ini.
Target kontribusi nasional (NDC) Indonesia hingga tahun 2030 adalah pengurangan 29 persen emisi dengan upaya sendiri dan 41 persen jika ada bantuan dan kerja sama internasional. Target itu, antara lain, dicapai lewat sektor kehutanan dan pertanian, energi (termasuk transportasi), industri dan penggunaan produk, serta penanganan limbah.
Hingga 2017, penelitian menunjukkan kenaikan suhu global telah melebihi 1,1°C dari zaman pra-industri. Konsentrasi CO2 rata-rata global mencapai 405 bagian per juta (ppm) pada pertengahan 2018, naik dari 400 ppm pada 2015 akibat kombinasi emisi antropegenis dan peristiwa El Niño kuat 2015 sebagaimana laporan The Greenhouse Gas Bulletin, WMO. Selama periode 1751-2016 trend akumulasi emisi CO2 dunia sudah tembus ~2009 gigaton. Negara-negara Asia berkontribusi sekitar 1500 gigaton. Indonesia sudah menyumbang ~1,8 gigaton dan tahun 2020 diproyeksikan meningkat pada level ~2,95 gigaton. Para ahli memperkirakan kenaikan 2°C diproyeksikan terjadi bila emisi CO2 dunia mencapai ~2900 gigaton setara dengan konsentrasi CO2 450 ppm. Pengukuran CO2 di Stasiun BMKG Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang hingga akhir 2017 berada pada level 395 ppm.
Proyeksi perubahan iklim model IPCC mengindikasikan kenaikan suhu global 2°C dapat terjadi di sekitar 2050 untuk bussiness as usual (BAU) scenario kebijakan mitigasi diterapkan (RCP4.5), dan sekitar 2040 pada BAU skenario emisi karbon tinggi (RCP8.5). Downscale ke lingkup Indonesia, kenaikan 2°C bisa terjadi pada sekitar 2040 (RCP4.5). Untuk Jakarta, penelitian Siswanto et al., (2015; Int’l Journal of Climatology) berdasarkan data 135 tahun menunjukkan kenaikan suhu 1,6°C telah terjadi pada rentang 1866 hingga 2012. Secara teori, pemanasan 1°C pada ruang atmosfer bumi bisa menambahkan kapasitas tangkap atmosfer terhadap uap air dan menambahkan 7% energi penggerak siklus hidrologi di permukaan dan atmosfer bumi.
Harapan Paris dari COP ke COP, COP25 Chile menunggu gilirannya
Delegasi pada konferensi Katowice gagal memberikan komitmen kuat untuk aksi nyata dan penting untuk menyelamatkan planet kita. Laporan Khusus IPCC skenario 1,5°C pemanasan global menuntut urgensi ambisi yang lebih besar dan perlunya transformasi ekonomi global.
Banyak penggiat lingkungan dan pemerhati perubahan iklim kecewa dengan keengganan beberapa pemerintah untuk mendukung temuan-temuan Laporan Khusus IPCC, seperti AS, Arab Saudi, dan Rusia. Sikap politik yang keras dan bebal seringkali menyembunyikan kepentingan ekonomi yang kuat yang pada akhirnya melemahkan hasil perundingan ke dalam bentuk paket kesepakatan yang tidak cukup untuk melindungi generasi sekarang dan masa depan dari bencana lingkungan. Dialog Talanoa, gaya “pribumi” baru untuk mempromosikan dialog yang lebih terbuka dalam proses resmi, namun, masih belum jelas bagaimana ini dapat menyebabkan perubahan bagi yang kelompok masyarakat yag paling terdampak dan termiskin. Tentu saja Dialog ini baik untuk dipertahankan dalam persiapan KTT Iklim berikutnya di Santiago, Chile pada Desember 2019 ini, tetapi perlu ditingkatkan dengan partisipasi yang berarti dari komunitas garis depan pemerhati iklim dan melibatkan masyarakat sipil sehingga bisa mengarah pada komitmen konkret.
Oleh karenanya pada COP25 Chile nanti, atas alasan itu semua, para pihak yang hadir UNFCCC harus mampu mewujudkan visi Paris dengan cara: pertama, menyepakati pedoman implementasi yang kuat, adil dan kohesif untuk memperkuat Kesepakatan Paris dan menyusun roadmap untuk menyelesaikan isu-isu mitigasi dan adaptasi yang lebih luar biasa; kedua, meningkatkan komitmen peningkatan target NDC pada tahun 2020 yang terukur dan berbasis pengkajian iklim; dan ketiga adalah menegaskan kembali komitmen pendanaan iklim semua pihak, menyepakati standar akuntansi yang kuat dan metode konkret untuk meningkatkan prediktabilitas dana dari negara-negara kontributor.
Selain itu, pada saat kesadaran global tumbuh secara kolektif bahwa tindakan mendesak diperlukan untuk menghindari dampak terburuk, negara-negara dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim kini bahkan sudah menghadapi kerusakan parah itu. Lima tahun lalu di warsawa, tak jauh dari Katowice, sempat tercetus Mekanisme Internasional Warsawa untuk Kerugian dan Kerusakan (the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, WIM) yang merupakan hasil dari COP19. COP24 juga mengamanatkan agar WIM L&D ini dapat diimplementasikan secara kongkret dengan tiap negara melakukan katalog kejadian ekstrem yang dapat dihitung biaya kerugian dan kerusakannya. Tahun ini momentum COP25 untuk bisa memastikan dan memberikan panduan tingkat tinggi implementasi WIM tersebut, termasuk asesmen yang diperlukan untuk pendanaan kerugian dan kerusakan itu. ###
Afiliasi BMKG dan HAGI