Kalau di Banten punya suku Baduy yang mempertahankan adat istiadat dan warisan leluhur mereka. Di Tasikmalaya juga punya, ada satu kampung yang tetap mempertahankan adat istiadat mereka sejak nenek moyang, yaitu Kampung Naga. Meskipun sama-sama masih mempertahankan warisan leluhur, tetapi masyarakat Kampung Naga ini lebih menerima perkembangan di zaman modern ini. Mereka tidak ada larangan untuk memakai busana atau mengenyam pendidikan.
Kampung Naga ini berada di sebuah lembah yang subur, di pinggiran Sungai Ciwulan yang mata airnya bersumber dari Gunung Cikuray. Kalau secara jelasnya sih Kampung Naga ini berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Kampung ini memang mempunyai adat istiadat yang berbasis pengurangan risiko bencana.
Jika kamu pergi berkunjung ke kampung ini, kamu akan melihat rumah dengan model yang sama pada setiap rumah dan dengan bahan yang sama pula. Peraturan dari adatnya lah yang mengatur penggunaan bahan bagunan dari kayu atau bambu, sementara atapnya dari daun nipah atau ijuk, dan tak boleh ada perabotan seperti kursi. Kamar mandi dan kandang ternak pun diberi aturan harus berada di luar area perumahan. Wah menarik bukan?
Baca juga : FAKTA FUNGSI PELUIT INI WAJIB KAMU INGAT
Selain itu, penataan ruang kampung Naga yang dapat menjadi pengurangan risiko bencana berpedoman pada konsep kosmologi Tri Tangtu di Bumi yang merupakan filosofi dasar masyarakat sunda. Filosofi ini membagi dunia atas tiga bagian yaitu, atas-tengah-bawah. Kampung Naga pun membagi wilayahnya menjadi tiga, yaitu Dunia Atas (Hutan Keramat), Dunia Tengah (Kawasan Pemukiman), Dunia Bawah (Kawasan Luar).
Dunia Atas adalah hutan keramat yang berada di atas bukit di bagian barat kampung. Masyarakat yang boleh memasuki hutan keramat hanyalah kuncen (juru kunci) dan merupakan kuburan bagi leluhur kampung naga. Pohon di hutan keramat tidak boleh ditebang. Hutan keramat yang berada di atas bukit, meresapkan air hujan, sehingga air hujan tidak membanjiri kawasan di bawahnya. Dalam hal ini masyarakat Kampung Naga mengatakan “leuweung mah imah kai, kai mah imah cai” artinya hutan tempat pepohonan, dan pepohonan rumah air.
Dunia Tengah adalah pusat kegiatan, seperti rumah atau tempat beribadah. Pemukiman ini yang dibuat mengikuti kontur. Agar tidak mudah longsor, maka tanah diberi batu dicampur tanah liat. Kalau Dunia Bawah itu, terdapat kolam ikan yang diatasnya dipakai untuk MCK, menumbuk padi, kandang ternak, sawah, atau perkebunan. Tebing yang curam di kebun atau sawah ditanami pohon bambu atau aren untuk mencegah longsor. Antara pemukiman dan pertenakan diberi pagar pembatas dari bambu.
Ketinggian Dunia Tengah lebih rendah dari Dunia Bawah. Dunia Bawah yang merupakan kolam, sekaligus menjadi pembatas antara perumahan dengan sungai Ciwulan. Air dari perumahan mengalir ke kolam sebelum mengalir ke sungai, demikian pula apabila sungai meluap airnya akan mengisi kolam-kolam tersebut, sebelum masuk ke perumahan.
Tuh kan, bener kalau kearifan lokal Indonesia itu memiliki banyak sekali cara pengurangan risiko bencana yang masih banyak orang belum tau. Sebab itu, kita perlu melestarikan dan menyebar luaskan apa yang sudah kita miliki ini ya Disasterizen! (MA)
Sumber : Jurnal Geomedia (Volume 15 Nomor 1 Mei 2017) dan Jurnal Sosio (Vol. 1, No. 2 Des 2014)