Kamu perlu tahu Sobat Disasterizen, tidak hanya laut Selatan saja yang memiliki jejak sejarah tsunami, tetapi Aceh pun juga punya! Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan tangan yang disampul sebuah manuskrip abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Catatan tersebut ditemukan oleh Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara, Oman Fathurahman. Hal tersebut membuktikan bahwa sebenarnya selain jejak tsunami juga bisa tertulis dalam manuskrip kuno, selain catatan geologis.
Baca juga : MENGENAL 6 DESAIN VAKSIN COVID-19
Dalam catatan tersebut menyebutkan bahwa pernah terjadi gempa besar untuk kedua kalinya pada pagi hari, Kamis, 3 November 1832. Bukan hanya itu saja, bahkan beberapa dari catatan penjelajah barat, mereka menyatakan pernah terjadi gempa di pantai barat Sumatera pada 24 November 1883.
“Bisa jadi itu adalah dua gempa yang berbeda, yang paling penting adalah adanya catatan yang membuktikan bahwa Aceh kerap dilanda gempa besar,” ujar Oman yang juga pakar filologi dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Lalu sebelumnya pada tahun 2005 lalu, Oman juga menemukan naskah Takbir Gempa di perpustakaan Ali Hasjmy, Banda Aceh. Naskah anonym ini diperkirakan dibuat sekitar abad ke-18.
Manuskrip di perpustakaan Ali Hasjmy tersebut memaparkan kejadian yang meliputi gempabumi dalam rentan waktu dari subuh hingga tengah malam, dalam 12 bulan. Di salah satu bagian manuskrip tersebut disebutkan, ”Jika gempa pada bulan Rajab, pada waktu subuh, alamatnya segala isi negeri bersusah hati dengan kekurangan makanan. Jika pada waktu Duha gempa itu, alamatnya air laut keras akan datang ke dalam negeri itu…”.
Tidak sampai di situ, manuskrip tersebut juga menggambarkan bagaimana gempabumi bisa memicu naiknya air laut hingga ke daratan. Naiknya air laut itulah yang kini disebut dengan tsunami. Akan tetapi, jauh sebelumnya masyarakat Aceh juga memiliki kosakata ‘le beuna’ yang berartikan ‘air bah besar dari laut’.
Bahkan orang tua pada zaman dahulu juga sering mengatakan, ‘Neuk ka jeut tamong u rumoh, eunteuk troh ie beuna’ yang berartikan ‘Nak sudah bisa masuk ke rumah, nanti datang, gelombang pasang tinggi dari laut’. Kalimat ini sering diucapkan saat terjadi petir dan kilat.
Namun sayang seribu sayang, semua itu hilang bak ditelan bumi. Pengetahuan lokal yang seharusnya diturunkan turun menurun, kini hilang dan tidak diwariskan lagi oleh masyarakat Aceh saat ini. Akibat dari itulah yang menyebabkan banyaknya korban meninggal di Aceh saat tsunami 2004 lalu. Makanya nih Sobat Disasterizen, jangan pernah lupakan sejarah ya! (MA)
Sumber : National Geographic Indonesia & Muhammad Arifin Hasanud (U-Inspire)