Indonesia yang kaya akan kebudayaan dan berdiri di wilayah rings of fire ini memiliki berbagai upaya penanggulangan bencana berbasis kearifan lokal, salah satunya pada masyarakat Dayak, Kalimantan.
Masyarakat Dayak memiliki kearifan lokal dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan seperti batang ganting. Apa itu batang ganting?
Batang garing merupakan hubungan yang terjabarkan dalam nilai-nilai masyarakat, yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam serta hubungan sesama manusia. Di sisi lain, persoalan yang berhubungan dengan lingkungan disebut dengan manyanggar dan memapas lewu. Manyanggar adalah upacara adat ketika membuka lahan baru untuk menghormati roh leluhur yang mendiami kawasan tersebut. Ketika membuka lahan harus minta izin kepada roh leluhur jika tidak kampung akan mendapatkan malapetaka.
Jika dilihat lebih luas, manyanggar adalah sebuah kepedulian dan kehati-hatian pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga orang tidak semena-mena memperlakukan alam. Dua hal tersebut sudah populer di kalangan masyarakat Dayak, proses penyadarannya dilakukan terus menerus.
Baca juga : APA JADINYA JIKA TIDAK ADA GUNUNG BERAPI DI BUMI
Selain itu, masyarakat Dayak mengenal konsep manyalamat petak yang artinya adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang arif terhadap lingkungan. Dimana kelangsungan kehidupan umat manusia pada masa datang akan terjamin.
Konsep lainnya adalah belom bahadat sebagai pedoman mengatur hubungan manusia dengan alam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, serta sopan santun dalam kehidupan bersama. Konsep tersebut ada dalam pemanfaatan ruang publik sehingga terpelihara suasa hakam belom-belom (kerukunan) dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah.
Tidak lupa kearifan lokal dalam penanggulangan kebakaran ada beberapa macam yang dimiliki masyarakat Dayak, misalnya saja eka malan manan satiar. Berdasarkan Peraturan Daerah tahun 1979 Tentang Hukum Adat Dayak Ngaju, disebutkan bahwa yang dimaksudkan eka malam mana satiar adalah wilayah kelola masyarakat yang berada pada posisi 5 kilometer dari kiri kanan sungai.
Fungsi kawasan kelola tersebut untuk berladang, menanam karet, menangkap ikap, berburu, dan mencari hasil hutan non kayu seperti gemor, jelutung, gaharu, tanaman obat, dan rotan. Kearifan lainnya dalam bentuk upun tanggiran yang merupakan usaha masyarakat memanfaatkan pohon tanggiran sebagai tempat bersarangnya lebah madu. Namun, upaya ini mulai tergerus di masyarakat Dayak.
Sedangkan pahewan/tajahan merupakan hutan Keramat (zona inti), wilayah pali (zona buffet), dan wilayah kelola (usaha masyarakat). Masyarakat Dayak juga mengenal ladang berpindah, dan jika dilakukan secara adat maka tidak akan merambah ke tempat lain, serta pembakaran terkendali. (MA)
Sumber : Mongabay