Gempabumi berkekuatan 9,2 Skala Richter telah mengguncang provinsi paling ujung barat Indonesia dan diikuti oleh gelombang tsunami dahsyat. Gempa dan tsunami tersebut mungkin menjadi peristiwa yang sangat memilukan oleh seluruh masyarakat dunia, khususnya masyarakat Aceh.
Di balik semua berita duka di kala itu, ada kisah dramatis dari perjuangan masyarakat Aceh yang selamat dari bencana tersebut, misalnya cerita Bundiyah atau kerap disapa dengan Mak Kolak.
Baca juga : JEJAK PERJALANAN SEJARAH LETUSAN GUNUNG SEMERU EDISI 2000-AN
Mak Kolak adalah salah satu warga Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Mak kolak saat itu (26 Desember 2004), baru saja selesai menjajakan dagangannya berupa nasi dan juga kolak di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Banda Aceh.
Lalu kemudian, tiba-tiba gempa dengan kekuatan besar telah menggoyangkan tanah selama tujuh menit lamanya. Gempa tersebut membuat dirinya terhuyung hingga jatuh ke atas keranjang ikan. Suara dzikir serta adzan sahut menyahut pada kala itu tidak juga membuat gempa reda.
“Saya pikir udah kiamat hari itu. Saya nggak pikir air laut akan naik, yang saya pikir, ini kalau pecah tanah, masuk saya ke dalam tanah,” katanya mengenang kisah empat belas tahun silam, ketika di jumpai di Museum Kapal Tsunami, Lampulo.
Saat itu, Mak Kolak baru hanya memperoleh uang sekitar Rp. 85.000 dan memilih merapihkan dagangannya, serta kembali ke rumah. Belum sempat rasa hilangnya takut akibat gempa tersebut, ia kembali dikejutkan oleh suara dentuman besar.
Akan tetapi, saat itu Aceh juga sedang berada pada masa konflik. Sehingga membuat warga mengira suara dentuman tersebut berasal dari ledakan bom. Setelah suara dentuman tersebut, ada gelombang besar hitam pekat yang muncul di tengah laut.
Berkat sebuah kapal nelayan yang terseret ke desanya, gelombang besar membawa kapal hingga tersangkut di atap rumah warga, yang kini kapal tersebut dijadikan objek wisata Museum Kapal Tsunami.
Akan tetapi, sebelum kapal tersebut datang, Mak Kolak memilih naik ke lantai dua rumah warga. Namun, air laut turut memenuhi isi rumah.
“Sebelumnya saya masih di TPI, beresin barang. Saya lihat air laut tinggi, orang semua berlarian, saya nggak lari. Saya memilih diam, saya udah pasrah, hari itu saya pasti mati. Tapi saya tersadar, seperti ada yang menyuruh saya lari untuk naik ke atas rumah warga di lantai dua. Saya bilang ke orang-orang, air laut naik, air laut naik. Tapi orang mengira saya sudah gila,” ujarnya.
Mak Kolak berkata bahwa menurutnya gelombang besar yang bergulung-gulung itu seperti ular yang mencari manusia. Akan tetapi pada saat itu Mak Kolak memilih pasrah.
Kemudian, ia dan 58 masyarakat lainnya berada di atas kapal selama 9 jam. Kini, Mak Kolak menjadi pemandu wisata di Museum Kapal Tsunami dengan menceritakan kisahnya 14 tahun silam kepada setiap pengunjung yang datang.
Tahukah kamu? Kisah ini juga diabadikan oleh Ahmad Ariska dan Siti Maghfirah dalam sebuah film documenter berdurasi 15 menit. Film tersebut berjudul ‘Survivor’ yang diproduksi selama dua bulan dan merupakan bagian dari program Aceh Japan Community Art Project 2018. (MA)
Sumber : ajnn.net