Limbah Infeksius : Masalah Baru Setelah Virus Corona

Di tengah pandemi virus corona yang menyerang sebagian belahan bumi ini, ada masalah baru yang akan muncul, yaitu limbah infeksius. Limbah infeksius muncul akibat adanya peningkatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah memprediksi terdapat peningkatan 30 persen limbah infeksius selama pandemi virus corona dibandingkan dengan sebelum terjadi pandemi.

Sebagai tambahan informasi, limbah infeksius ini adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular.

Deputi Ilmu Pengetahuan Bidang Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono juga menjelaskan bahwa limbah infeksius bisa berdampak menularkan penyakit dan mengganggu pelayanan kesehatan ke masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan antisipasi atas dampak negatif yang bisa muncul dari limbah infeksius ini.

Sampah masker dan sarung tangan sekali pakai tidak hanya mencemari lingkungan, jika tidak segera ditangani, namun juga mengancam 300 ribu petugas persampahan yang bertugas di rumah warga dan 600 pemulung.

Akan tetapi yang menjadi kendala adalah pengelolaan limbah tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Indonesia membutuhkan teknologi yang baik untuk menangani limbah infeksius. Fasilitas atau teknologi pengelolaan limbah infeksius yang paling baik adalah autoclave, yang mana tidak menimbulkan emisi atau dioksin meskipun dengan suhu rendah.

Sedangkan, di Indonesia umumnya teknologi yang digunakan untuk mengelola limbah tersebut adalah dengan incinerator. Pada nyatanya, incinerator masih harus membutuhkan penanganan lanjutan atas kemungkinan emisi atau dioksin yang timbul setelah proses pemusnahan limbah.

Bahkan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati menuturkan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan limbah infeksius menjumpai sejumlah kendala utama yaitu ketersediaan insinerator.

Di seluruh Indonesia hanya ada 100 rumah sakit yang memiliki incinerator sesuai standar dan telah berizin. Padahal pengelolaan limbah infeksius sangat penting di masa pandemi ini. Vivien juga menjelaskan, bahkan banyak Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang tidak memiliki incinerator karena tidak adanya lahan dan juga terlalu dekat dengan masyarakat, sehingga dikhawatirkan menimbulkan emisi yang mengganggu.

Namun, kendala-kendala ini sedang diminimalisir oleh Pemerintah melalui kemitraan Badan Usaha Milik Negara. Upaya percepatan izin incinerator berstandar oleh rumah sakit serta mengoptimalisasikan pengolahan limbah oleh jasa pengangkut dan pengolah Bahan Beracun Berbahaya (B3) juga tengah dilakukan.

Sumber : Kompas.com

Limbah Infeksius : Masalah Baru Setelah Virus Corona

Di tengah pandemi virus corona yang menyerang sebagian belahan bumi ini, ada masalah baru yang akan muncul, yaitu limbah infeksius. Limbah infeksius muncul akibat adanya peningkatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI telah memprediksi terdapat peningkatan 30 persen limbah infeksius selama pandemi virus corona dibandingkan dengan sebelum terjadi pandemi.

Sebagai tambahan informasi, limbah infeksius ini adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular.

Deputi Ilmu Pengetahuan Bidang Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono juga menjelaskan bahwa limbah infeksius bisa berdampak menularkan penyakit dan mengganggu pelayanan kesehatan ke masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dilakukan antisipasi atas dampak negatif yang bisa muncul dari limbah infeksius ini.

Sampah masker dan sarung tangan sekali pakai tidak hanya mencemari lingkungan, jika tidak segera ditangani, namun juga mengancam 300 ribu petugas persampahan yang bertugas di rumah warga dan 600 pemulung.

Baca juga : 4 KRITERIA YANG BOLEH LINTAS WILAYAH SAAT PSBB

Akan tetapi yang menjadi kendala adalah pengelolaan limbah tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Indonesia membutuhkan teknologi yang baik untuk menangani limbah infeksius. Fasilitas atau teknologi pengelolaan limbah infeksius yang paling baik adalah autoclave, yang mana tidak menimbulkan emisi atau dioksin meskipun dengan suhu rendah.

Sedangkan, di Indonesia umumnya teknologi yang digunakan untuk mengelola limbah tersebut adalah dengan incinerator. Pada nyatanya, incinerator masih harus membutuhkan penanganan lanjutan atas kemungkinan emisi atau dioksin yang timbul setelah proses pemusnahan limbah.

Bahkan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati menuturkan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan limbah infeksius menjumpai sejumlah kendala utama yaitu ketersediaan insinerator.

Di seluruh Indonesia hanya ada 100 rumah sakit yang memiliki incinerator sesuai standar dan telah berizin. Padahal pengelolaan limbah infeksius sangat penting di masa pandemi ini. Vivien juga menjelaskan, bahkan banyak Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang tidak memiliki incinerator karena tidak adanya lahan dan juga terlalu dekat dengan masyarakat, sehingga dikhawatirkan menimbulkan emisi yang mengganggu.

Namun, kendala-kendala ini sedang diminimalisir oleh Pemerintah melalui kemitraan Badan Usaha Milik Negara. Upaya percepatan izin incinerator berstandar oleh rumah sakit serta mengoptimalisasikan pengolahan limbah oleh jasa pengangkut dan pengolah Bahan Beracun Berbahaya (B3) juga tengah dilakukan. (MA)

Sumber : Kompas.com