Mengapa gempa Lombok ini terjadi?
Kenapa banyak gempa susulan yang kekuatannya lebih besar?
Kapan gempa di Lombok berakhir?
Gempa yang bagaimana yang bisa menimbulkan tsunami?
Ketika gempa, lebih baik langung lari atau lindungi diri di kolong meja?
Sumur kering dan keluar pasir, apakah ini tanda bencana lain akan tiba?
Sejumlah ilmuwan dan praktisi pendidikan kebencanaan dari LIPI, ITB, Predikt mencoba mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari masyarakat terkait gempa Lombok yang terjadi bertubi-tubi belakangan ini. Puluhan pertanyaan ini didapat langsung dari warga saat bertemu di lapangan, maupun dikirim melalui pesan Whatsapp. Pertanyaan yang dikumpulkan ini bisa menjadi soal ujian tingkat sarjana, bahkan doktoral.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencerminkan adanya kebutuhan terkait penjelasan-penjelasan gamblang mengenai proses-proses pergerakan bumi yang misterius. Sementara, sains belum mampu menjawabnya dengan genap. Kesenjangan penjelasan ini terjadi dalam situasi sulit dan rumit dalam fase tanggap darurat di Lombok. Dengan mudah kesenjangannya diisi oleh berita dan informasi keliru dan cenderung menyesatkan. Sebagian menciptakan berita-berita keliru, menyesatkan dan membuat takut, memanfaatkan kesenjangan tersebut bahkan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi, mulai dari level ‘maling rumah warga yang terdampak’ hingga click baits di media daring. Sayangnya counter-hoax dilakukan dengan pendekatan konvensional, misalnya dengan press-release atau konferensi media, meskipun dalam diseminasinya mencoba mengikuti gerak dan arus pertukaran informasi yang jauh lebih disukai publik saat ini yaitu media sosial. Klarifikasi disiapkan dan diedarkan namun sayangnya terkurung oleh keterbatasan teks dan ekspresi. Informasi dan klarifikasi yang disalurkan melalui media sosial, terutama Whatsapp dengan mudah ditambah bumbu dan drama, dan ini bisa dilakukan oleh siapapun. Masyarakat yang menyenangi drama, story-telling hanya mendapatkan perca-perca informasi ‘resmi’ atau ditulis oleh pihak yang memiliki otoritas maupun ilmuwan. Namun tulisannya steril tanpa emosi dan minim empati, terkait patahan ‘back arc thrust’ dalam artikel-artikel koran. Berita atau informasi ini lazim ditutup dengan ‘masyarakat diharapkan tetap tenang dan waspada’. Sementara animasi, grafis dan narasi dramatis maupun teks bernuansa agamis transendental juga hadir dan dipilih masyarakat untuk menambah pengetahuannya yang senjang serta rasa ingin tahu diantara rasa takut dan panik (lihat akun facebook Earthquake and Wheather, atau pernyataan Sandiaga Uno: Lombok Gempa Lagi, Sandi: Mungkin Kita Butuh Taubat Nasional – detiknews).
Kata waspada menjadi narasi yang memiliki makna baru dan senjata yang dianggap ampuh, namun juga mencerminkan keputus-asaan dalam menjembatani gap antara rentang usia geologi dan usia manusia dalam disclaimer: ‘kita tidak tahu kapan gempa terjadi, dan tidak ada teknologi yang bisa memprediksi’. Sains tidak bisa menggunakan kedigdayaannya untuk menyatakan dengan persis kapan gempa berikutnya akan terjadi. Disklaimer selanjutnya misalnya, ‘Indonesia rawan bencana, (pokoknya) tetap tenang dan waspada’. Atau ‘kenali bahayanya, kurangi risikonya.
Keterbatasan penjelasan ilmiah mengenai gempa berlaku di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Kosa kata ‘Mentawai Megathrust’ misalnya, telah menjadi bagian dari denyut hidup warga Mentawai, tanpa ada yang bisa benar-benar menjelaskan dengan tepat apa itu Megathrust. Ancaman Megathrust adalah realita baru yang dikonstruksikan oleh ilmuwan, praktisi penanggulangan bencana serta media. Setelah tsunami 2004, gempa Padang 2009 dan tsunami di Pagai dan Sipora, Mentawai tahun 2010, media dan ilmuwan gencar mengkampanyekan pentingnya ‘Waspada’ karena masih ada kemungkinan gempa besar di waktu mendatang. Bagi masyarakat desa Saibi, di Siberut Mentawai yang belum pernah mengalami tsunami dalam 2 – 3 generasi kebelakang hingga saat ini, kata Waspada punya makna subjektif sendiri. Bagi masyarakat, ‘bukan tsunami yang kami takutkan, tapi Waspada yang kami khawatirkan’. Rasa takut menjadi komoditas, yang diharapkan dapat menundukkan ‘ketidakteraturan dan kekurangsiapan’ masyarakat atas ancaman gempa yang digagas dan dibayangkan ilmuwan. Ada kekeliruan dalam komunikasi sains, itupun jika komunikasi sains dipraktikkan oleh media dan ilmuwan. Selain itu, terbentuk relasi tidak setara antara ilmuwan, media dan masyarakat, dimana masyarakat menjadi subordinat paling bawah. Jurnalis senior Ahmad Arif menantang sisi deterministik dari ilmu pasti dalam membaca karakter gempa dalam artikelnya di Kompas berjudul: Gempa dan Misteri Pengetahuan (12 Agustus 2018).
Dalam membangun komunikasi dan tindakan komunikatif yang baik, relasi setara antara masyarakat, ilmuan, pemerintah sangat diperlukan. Ini menjadi prasyarat dalam membangun mayarakat berbasis rasional sains. Dan masyarakat berbasis rasional sains akan lebih mudah menerima gagasan ‘mengelola risiko’ secara partisipatif. Ilmuwan juga perlu menyampaikan keterbatasan pengetahuan secara legawa, sekaligus terus berinvestasi dalam komunikasi sains agar pengetahuan yang diproduksi saat ini agar pengetahuan ilmiah dapat dikunyah masyarakat, diresapi dan menjadi dasar bertindak. Masyarakat sendiri pada umumnya tidak hidup dalam budaya bertanya atau kritis, sebagai dampak dari proses historis demokrasi yang buruk dimasa lalu. Birokrat dan ilmuwan sama-sama memelihara budaya propaganda yang menjadi alat rezim Orde Baru, yang menegaskan ketidaksetaraan relasinya dengan masyarakat. Kabar gembiranya, gempa Lombok sedang menceritakan kisah yang berbeda. Pada titik inilah, masyarakat bertanya. Pada momentum ‘masyarakat bertanya’, maka sesungguhnya telah terjadi transformasi rasionalitas.
Argumen bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya pecinta klenik dan tidak rasional, juga rasanya tidak tepat. Indonesia melewati sejarah sains yang berbeda dengan Eropa, Jepang dan China misalnya, sehingga memiliki corak tersendiri yang khas. Pengetahuan modern berkelindan dengan pengetahuan lokal dan transendental religius. Tapi munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis dari masyarakat terhadap ilmuwan merupakan bukti bahwa masyarakat sudah mulai bergerak menuju apa yang Ulrich Beck bayangkan sebagai ‘Risk Society’ dimana peran sains modern begitu kuat. Tinggal bagaimana para pelaku kebencanaan, praktisi komunikasi dan ilmuwan bekerja lebih serius untuk mempersentajai masyarakat dengan ilmu pengetahuan yang berguna untuk bertahan dan hidup berdampingan diantara gempa.
Penulis : Â Irina Rafliana