Penggambaran gunung dalam bentuk lukisan maupun sketsa adalah hal yang lumrah di Jawa. Namun, hal ini baru terjadi sejak periode 1800-an dan seterusnya. Menurut Ghamal Satya Mohammad dalam artikelnya yang berjudul ‘Mount Merapi in Drawings and Paintings: A Dynamic Reflection of Nature, 1800 – 1930’ (2022), penggambaran gunung di Jawa, terutama dalam hal ini Gunung Merapi, didorong oleh aktivitas kolonialisme Belanda di Nusantara.
Semangat sains kolonial – mencari ilmu pengetahuan baru di tanah koloni – dimana gunung adalah salah satu objeknya, pengaruh seni lanskap, dan humanitarianisme adalah tiga hal yang mendasari penggambaran Gunung Merapi pada periode 1800 hingga 1930. Tidak seperti di Bali dimana tradisi melukis tradisional terus terjaga hingga periode kontemporer, pada periode 1800an masyarakat Jawa sepertinya telah meninggalkan tradisi melukis yang pernah populer di masa yang lebih lampau. Sejak periode ini, para juru gambar (draughtsman), pelukis (painter) profesional, pelancong ataupun pelukis amatir membuat sketsa dan lukisan akan gunung Merapi dan aktivitas vulkaniknya. Hasil karya mereka masih tersimpan dan dapat dilihat hingga kini.
Baca juga : RADEN SALEH : PELUKIS RAJA YANG MENGABADIKAN DAHSYATNYA LETUSAN GUNUNG MERAPI
Sebelum tahun 1800, akses jalan ke kawasan Gunung Merapi yang masuk pada Distrik Mataram di daerah Vorstenlanden (Tanah Raja-Raja yang Semi Berdaulat, yaitu daerah Yogyakarta dan Surakarta) tidak cukup baik. Para pengunjung dari luar daerah ini harus berhadapan dengan kurangnya sarana penghubung yang memadai. Jalan-jalan mudah sekali hancur karena hujan besar. Gubernur Jendral Hindia Belanda Herman Willem Daendels, pada tahun 1807-1811 mencoba memperbaiki situasi tersebut.
Selama masa jabatannya, Daendels memerintahkan pembangunan Grote Postweg (Jalan Pos Besar) yang memperbaiki serta menambah jalan-jalan setapak di Pulau Jawa sehingga akan jauh lebih memudahkan pelaku perjalanan untuk mengunjungi daerah-daerah di Jawa, termasuk di wilayah Vorstenlanden.
Francois van Boekhold, anggota Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dan Residen kedua Surakarta dari Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) adalah orang Eropa pertama yang mendaki Merapi. Antara 18 Juli dan 9-10 Agustus 1786, ia mendaki Merapi dari sisi utara.
Van Boekhold dalam tulisannya mengatakan bahwa daerah lereng Gunung Merapi masih berbahaya dan belum pernah dijelajahi. Membaca kisahnya tentang perjalanannya memberi gambaran betapa asingnya Merapi dan sekitarnya.
Lalu, pada tahun 1807, ketika minat orang Eropa terhadap reruntuhan arkeologi di Jawa muncul, Merapi digambarkan dalam latar belakang sketsa Candi Sewu di Kompleks Candi Prambanan. Judul karya seni tersebut adalah Pemandangan Reruntuhan Candi Bramin di Brambanang. Pembuatnya adalah Hermanus Christiaan Cornelius (1774-1833), seorang juru gambar yang bertugas di Hindia Belanda.
Apabila dipahami lebih jauh, gambar ini menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, inilah penggambaran paling tua akan Gunung Merapi di periode ini. Kedua, gambar ini juga mengilustrasikan terjadinya letusan vulkanik skala kecil pada saat itu.Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa dalam catatan sejarah erupsinya, memang terjadi letusan Merapi (terklasifikasikan dalam skala letusan atau Volcanic Explosivity Index (VEI) 1) pada tahun dimana Cornelius membuat sketsa itu.
Kemungkinan besar Cornelius menyaksikan langsung letusan Merapi itu dan memasukkan peristiwa alam ini ke dalam gambarnya. Gambarnya menyiratkan bagaimana para pekerja yang sedang melakukan aktivitas arkeologi di Candi Sewu sama sekali tidak gentar dengan terjadinya letusan tersebut. Mereka bekerja disana tanpa khawatir letusannya akan mengancam jiwanya.
Pada tahun 1865, giliran Raden Saleh, seorang pelukis Jawa yang menggambarkan terjadinya letusan Gunung Merapi saat itu.
Lalu bagaimana dengan detailnya? Ada di artikel yang satu ini! (hyperlink ke artikel Raden Saleh)
Referensi: