Ancaman bencana ada di sekitar kita dan dapat mengancam siapa saja. Dengan demikian, hadirnya informasi dan pengetahuan tentang bencana, serta tumbuhnya kebiasaan siap siaga bencana menjadi sangat penting. Di sinilah peran keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat menjadi sangat krusial dalam membangun kesiapsiagaan tersebut. Mengapa demikian dan bagaimana mewujudkannya?
Seperti kita ketahui, Indonesia adalah salah satu negara dengan potensi tinggi terjadinya bencana, terutama bencana alam. Secara geografis, negeri ini merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Asia, Australia, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik, yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Data juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (BNPB, 2018). Potensi-potensi tersebut belum termasuk bencana alam yang disebabkan oleh tangan manusia.
Tingginya potensi bencana alam tersebut membutuhkan kesiapsigaan bencana yang terbangun dan terkelola dengan sangat baik. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi ancaman bencana dan mengambil aksi atau langkah antisipasinya perlu dibentuk sejak dini.
Dalam konteks membangun kesiapsiagaan, keluarga merupakan salah satu kelompok kecil di mana segalanya bisa dimulai. Keluarga bukan hanya tempat tumbuh kembang manusia, tetapi juga sekaligus tempat belajar, salah satunya belajar kesiapsiagaan bencana. Unit ini merupakan tempat persemaian pengalaman paling bermakna untuk anak-anak, kaum muda, hingga orang dewasa. Pengalaman tersebut kemudian menjadi dasar tumbuh kembang, termasuk dalam mengajarkan proses partisipasi dan saling mendengarkan di antara anggota keluarga.
Kesiapsiagaan bencana ini kian terasa urgent untuk keluarga-keluarga yang tinggal di daerah rawan bencana. Sifat bencana yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, membuat keluarga, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana, menjadi rentan dan mendapatkan dampak yang besar karena kurangnya pengetahuan dan belum memiliki keterampilan menghadapi bencana.
Pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pun menyadari hal ini dengan mendorong program Keluarga Tangguh Bencana (KATANA). Program ini mengupayakan terciptanya keluarga yang berpengetahuan, sadar, berbudaya, dan tangguh bencana. Berpengetahuan artinya memiliki pengetahuan tentang ancaman dan risiko bencana serta langkah antisipasi yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko bencana. Sadar artinya keluarga menyadari bahwa mereka hidup dan tinggal di daerah rawan bencana dan bencana bisa terjadi kapan saja. Berbudaya berarti keluarga yang memulai langkah-langkah atau sikap sadar bencana, seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakkan listrik sesuai kebutuhan atau memastikan ada pengecekan secara reguler. Sementara, tangguh bencana artinya keluarga siap menghadapi ancaman bencana dan mampu menghidar dengan cepat (memiliki tas siaga, P3K dan bahkan memiliki nomor kontak penting atau emergency call).
Membangun hal-hal di atas tidaklah mudah, terutama ketika keluarga tidak pernah mengalaminya secara langsung. Membangun pengetahuan, melakukan aksi, hingga menjadi tangguh merupakan proses panjang yang harus dilalui.
Sebenarnya, pengetahuan penyelamatan diri dari bencana dan latihan keterampilan sangat mudah diperoleh lewat dunia digital. Namun, untuk menumbuhkan keterampilan secara mandiri di keluarga, diperlukan penumbuhan kebiasaan, percobaan, mengalami kegagalan, dan mengawali latihan lagi.
Keluarga Tangguh Bencana
Perlunya pengembangan pengetahuan dan keterampilan siaga bencana di lingkup keluarga ini pula yang mendorong Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) secara khusus mengampanyekan Keluarga Tangguh Bencana (Katana). Program ini di antaranya ditempuh melalui edukasi kesiapsiagaan dari rumah tangga sejak tahun 2018, kampanye dan sosialisasi dengan alat peraga bencana, memastikan rute evakuasi dalam rumah, titik kumpul, dan lokasi rentan. Keluarga juga diedukasi untuk mengenali titik aman yang perlu ditandai di rumah. Setiap keluarga dipastikan dapat meng-update dan melakukan pengecekan rutin tas siaga, kotak P3K, dan nomor telepon penting. Edukasi ini harus tetap berlanjut hingga semua anak, kaum muda, dan masyarakat memiliki kesiapsiagaan.
Hingga saat ini sudah ada 6.957 keluarga yang mendapat pengetahuan dan keterampilan siaga bencana melalui program Katana yang dijalankan Plan Indonesia. Sejak inisiatif Katana diimplementasikan di wilayah kerja Plan Indonesia, khususnya di Nagekeo dan Lembata, Nusa Tenggara Timur, makin banyak keluarga yang kian menyadari pentingnya kesiapsiagaan sejak dini. Keluarga mulai terbiasa untuk meng-update formulir Katana dan berkoordinasi aktif dengan tim siaga bencana. Mereka juga aktif meng-update informasi atau perkiraan bencana dari BMKG. Keluarga yang mengikuti Katana pun memahami rute evakuasi dan memastikan rute evakuasi tersebut dekat dengan akses terbuka, mengaitkan lemari di dinding, dan mengamankan dokumen-dokumen penting dalam map plastik serta meletakkannya di tempat yang mudah dijangkau jika terjadi bencana. Dengan pengetahuan dan kebiasaan baru tersebut, warga di Nagekeo dan Lembata, khususnya yang telah mengikuti program Katana, mempunyai kesiapan yang baik untuk meminimalkan dampak bencana.
Oleh karena itu, dalam rangka Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2022, penulis kembali mengingatkan dan sekaligus mendorong untuk membangunan kesiapsiaagan yang dimulai dari diri sendiri dan keluarga. Semua anggota keluarga memiliki peran yang sama untuk saling mendukung, mengingatkan, dan mengurangi dampak dan ancaman bencana. Dengan memastikan hal-hal kecil di atas sudah dimulai dari sekarang.
Di samping informasi dan pengetahuan, diperlukan praktik dan simulasi untuk membantu kita semua dan keluarga memiliki ketangguhan yang lebih baik. Selain itu, upaya tersebut juga harus diupayakan secara terus-menerus hingga membentuk sebuah kebiasaan baru. Dan, yang terpenting, semua pihak harus terlibat dalam mendukung upaya membangun kesiapsiagaan bencana ini.
Penulis : Fredrika Rambu, DRR Specialist Plan Indonesia