Jakarta, 21 Oktober 2020. Belum maksimalnya pengurangan risiko bencana salah satu akibat dari minimnya pengetahuan risiko. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti, mengatakan, minimnya pengetahuan risiko berpengaruh pada penyelesaian dari akar masalah penyebab risiko bencana.” LIPI memiliki pengalaman panjang dalam melakukan penelitian di bidang kebencanaan baik dari aspek hard science dan social science,” tutur Nuke. Ia menambahkan, penggabungan antar disiplin ilmu ini sebagai upaya untuk melihat bagaimana pengurangan risiko bencana dapat dioptimalkan dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.
Selaras dengan Nuke, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, Ocky Karna Radjasa, menyebutkan LIPI sebagai lembaga penelitian multidisipliner memiliki hasil-hasil riset terkait kebencanaan. “Pendekatan ilmu pengetahuan dapat berkontribusi pada penguatan upaya pengurangan risiko bencana, selanjutnya juga mendukung target pencapaian pembangunan berkelanjutan,” jelasnya. “LIPI juga sebagai hub kolaborasi kreativitas ilmu pengetahuan,” tambahnya.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto mengatakan ada empat tindakan prioritas dalam upaya pengurangan risiko bencana. LIPI menjalankan dua peran utama yaitu dalam memberikan pemahaman kepada public mengenai risiko bencana, dan dalam meningkatkan kinerja manajemen risiko bencana. “Pembuat kebijakan dan public perlu menumbuhkan kesadaran, dorongan dan motivasi untuk mengakses & menggunakan hasil riset,” ungkap Eko.
“Namun hingga saat ini masih ada jurang yang lebar yang perlu dijembatani antara pembuat kebijakan dan public dengan peneliti-akademisi di Indonesia, tegasnya. “Jembatan itu adalah komunikasi sains. Jembatan ini akan membuat para peneliti sadar bahwa salah satu kepentingan riset adalah menyelesaikan persoalan persoalan riil yang dihadapi oleh pembuat kebijakan dan masyarakat,” ungkap Eko.
Dengan demikian, menurut Eko, jembatan ini juga sekaligus akan membuat pembuat kebijakan dan publik menyadari bahwa riset yang dilakukan oleh peneliti akademisi berorientasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan mereka. “Selama ini kebutuhan dan prioritas pembuat kebijakan tidak terkomunikasikan dengan baik, sementara peneliti-akademisi jarang melihat pembuat kebijakan dan publik sebagai audiens kunci bagi riset mereka,” tuturnya.
Berdasarkan kajian aspek sosial, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Yogaswara, mencontohkan kejadian multi bencana di Sulawesi Tengah. “Terkait dengan gempa bumi yang diikuti dengan tsunami dan likuifaksi, menunjukkan bahwa pada dasarnya masyakarat di Sulawesi Tengah memiliki pengetahuan tentang lokasi tempat tinggal mereka,” ungkapnya. “Namun, semua pengetahuan tersebut belum diakomodasi di dalam perencanaan wilayah serta upaya pengurangan risiko bencana,” imbuhnya. “Bahkan, pada saat dilakukan pemulihan pasacabencana, aspek pengetahuan dari masyarakat juga belum dapat diintegrasikan secara kohesif,” tambahnya.
Terkait dengan bencana pandemi COVID-19, Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Puspita Lisdiyanti, menyebutkan bahwa tim peneliti di bawah koordinasinya telah dan sedang bekerja keras menanggulangi dampak wabah pandemi COVID-19. “Kami terus berupaya melakukan berbagai aktivitas riset untuk mendapatkan solusi permasalahan agar bangsa kita dapat menanggulangi dampak dari pandemi ini,” ujarnya. Ia menegaskan, pandemi COVID-19 harus menjadi pelajaran yang berharga dan tidak boleh dilupakan oleh bangsa ini. “Di masa mendatang jika terjadi pandemi yang berasal dari mikroorganisme, harus diantisipasi dari awal sehingga penyebaran dapat dikendalikan,” tambah Puspita. “Indonesia juga harus meningkatkan riset dan teknologi di bidang kesehatan secara mandiri,” pungkasnya. (MR)