“Ditulis pada tanggal 11 Maret 2015, dalam momen peringatan 4 tahun tsunami Sendai Jepang, serta pada waktu lahirnya Sendai Framework for Disaster Risk Reduction dalam World Conference on DRR 2015”
Es semalam mulai mencair dalam leburan embun dingin pagi di Sendai. Waktunya berangkat menuju kota Iwaki di provinsi Fukushima. Matahari merangkul sebisanya dengan cahayanya yang hangat. Jalan menuju Fukushima dibelah oleh tol Joban Highway. Bendera pada jembatan jadi tanda jalan ini dibuka kembali. Saat bencana 11 Maret 2011, jalan ini rusak berat, sehingga perlu waktu distribusi bantuan ke masyarakat terdampak. Kementerian Pekerjaan Umum Jepang menerapkan ‘comb strategy’ atau operasi sisir; pemulihan jalan utama lebih dahulu, baru ke jalan-jalan penghubung ke pantai. Inilah strategi sistematis untuk menyalurkan bantuan. Menumpangi bis selama 2 jam perjalanan ini menarik, karena bertolak menuju lokasi yang tak mudah disinggahi pendatang asing.
Kota Iwaki indah, subur. Disebut juga dengan kota ‘Sunshine’ karena matahari konon betah berlama-lama di kota ini. Tenar dengan produksi sake dan produk-produk laut, pertanian, juga jamur-jamur. Tapi imajinasi Iwaki yang hijau menguap saat bis melaju memasuki kecamatan Namie yang sepi. Diganti dengan imajinasi kota mati, diwakili semak meranggas. Rumah-rumah dan lahan penduduk relatif besar dibandingkan perumahan di wilayah perkotaan. Kini segala ditinggal apa adanya; rusak, reyot tanpa penghuni. Petugas-petugas keamanan bergantian waktu kerja, memeriksa dengan ketat surat izin masuk bagi warga. Bis terus melaju, melewati Pachinko Slot, pusat perbelanjaan, gerai kendaraan bermotor, ladang-ladang tanpa penghuni. Melewati lagi kecamatan Futaba, yaitu yang paling parah tingkat radiasinya.
Rupanya, beberapa anggota masyarakat masih ada yang menghuni ‘barak’ di Kota Iwaki hingga kini. Bisa jadi dianggap kurang nyaman jika dibandingkan dengan hunian yang lazim bagi masyarakat di Jepang. Selain bentuk kompak dan relatif sempit, tinggal di barak-barak ini kerap terlalu dingin di musim dingin, dan terlalu panas di musim panas. Ada yang dari kayu, atau barak yang disiapkan pemerintah dengan harga 6 juta yen per unitnya. Rupanya masyarakat dari beberapa kecamatan itu terpencar mengungsi ke kota Iwaki dan kota lainnya. Dan seolah masih belum cukup, rupanya masyarakat terdampak mengalami stigma cemaran radiasi nuklir akibat gempa kuat, sebagai tambahan beban psikologis, diluar kehilangan kerabat, rumah, kendaraan. Apakah kamu mau satu kelas dengan seorang teman yang terkena radiasi? Atau makan kerang dan beras dari Iwaki? Seberapapun ketat dan rajinnya tingkat radiasi diukur, dan semakin rendahnya tingkat radiasi yang dinyatakan para ahli, rupanya masih belum cukup juga. Padahal konon radiasi naik pesawat terbang bahkan lebih tinggi dibandingkan sebagian besar kecamatan terdampak. Rupanya masih terlalu sulit dan rumit untuk pulang ke Namie, bahkan dalam waktu lama. Rupanya masih sulit untuk mengembalikan kehidupan ‘normal’ yang digadang para aktor PRB. Apakah risiko-risiko ini dahulu pernah menyelip dalam imajinasi? Rupanya ini bukan semata tentang kemampuan lari menyelamatkan diri ke bukit terdekat saat merasakan gempa. 4 tahun hari ini. Berat, tapi pelan-pelan lewat juga sudah.
Semangat, kawan.






Penulis : Irina Rafliana