Inovasi Sains dan Teknologi diperlukan untuk Memecahkan Problem Perubahan Iklim

 Kekeringan melanda Indonesia di tahun 2018 dan Dinamika El Nino.

Kurang hujan melanda banyak wilayah di pulau Jawa sejak Agustus tahun ini, memicu terjadinya kelangkaan air dan kebakaran hutan. Menurut data terbaru indek hari kering berturutan (hari tanpa hujan, HTH) BMKG, banyak lokasi sebagian besarnya di Jawa, di Bali, NTB, dan di NTT telah terindikasikan menderita kondisi sangat kering (> 60 hari tanpa hujan sama sekali atau hari dengan curah hujan tetapi kurang dari 1 mm/hari). Bahkan beberapa lokasi kondisi hari keringnya telah lebih dari 3 bulan.

Menurut pembaharuan terbaru dari Badan Meteorologi Dunia (WMO), serta analisis dan prediksi El Nino BMKG, ada kemungkinan 70% El Nino berkembang pada akhir tahun ini dengan kekuatan yang belum pasti, tetapi kecil kemungkinan untuk menjadi kuat.

Siaran press resmi BMKG menginformasikan Prakiraan Musim Hujan 2018/2019 di 342 Zona Musim (ZOM) akan dominan sebagian besarnya mulai pada bulan November 2018 (147 ZOM atau 43,0%), 78 ZOM (22,8%) pada bulan Oktober, dan 85 ZOM pada bulan Desember 2018. Dibandingkan dengan rata-rata klimatologi 30 tahun (periode 1981-2010), permulaan Musim Hujan 2018/2019 umumnya akan terlambat pada 234 ZOM (68,4%) dan maju untuk sekitar 30 ZOM (8,8%), sementara selainnya normal.

El Niño/Southern Oscillation (ENSO) adalah fenomena laut – atmosfer periodik yang terjadi secara alami atas lebih menghangat atau mendinginnya suhu permukaan laut Samudera Pasifik ekuator diikuti oleh perubahan sirkulasi udara di atasnya. Variabilitas ENSO memiliki pengaruh besar pada pola iklim di banyak bagian dunia.

Perubahan Iklim dan Ekstremitas cuaca.

Selain variabilitas iklim alami tersebut, perubahan iklim juga nyata terjadi di Indonesia berdasarkan analisis data pengamatan yang Panjang. Perubahan kecenderungan suhu dan hujan ekstrem konsisten dengan laju pemanasan global. 

Selama se-abad terakhir, suhu rata-rata tahunan di Jakarta telah meningkat sekitar 1,6°C, melebihi laju naik suhu rata-rata global 1,1°C per abad pada tahun 2017. Peningkatan suhu maksimum harian lebih kuat daripada peningkatan rata-rata dan suhu minimum, meskipun selama 50 tahun terakhir, laju naik suhu minimum tampak lebih kuat (Siswanto et al., 2016, Int’l Journal of Climatology).

Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), sebuah badan ilmiah PBB, dalam terbitan laporan asesmen kelima perubahan iklim tahun 2014, menegaskan bahwa terdapat banyak bukti ilmiah yang kuat yang mendukung fakta bahwa suhu permukaan rata-rata global telah meningkat sejak akhir abad ke-19. IPCC mencatat tiga dekade terakhir telah secara berturut-turut menunjukkan kondisi lebih hangat dari catatan semua dekade sebelumnya, dan dekade pertama abad ke-21 adalah yang terhangat dari semua rekor suhu yang ada.Pemanasan tersebut tidak dapat dijelaskan oleh variabilitas alami saja, tetapi lebih dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi karbon dioksida berkaitan dengan aktivitas manusia (dampak antropogenik). Apabila planet bumi dibiarkan terus memanas akibat tumpukan emisi gas rumah kaca di atmosfer, kegiatan sosial dan ekonomi di bumi, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, pasti akan terpengaruh secara negatif.

Sebuah studi oleh Yen Yi Loo pada tahun 2014 diterbitkan dalam jurnal ilmiah Geoscience Frontier, menemukan hubungan dampak perubahan iklim dan penguatan anomali musim yang meningkat dari sistem hujan monsun Asia, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan variabilitas curah hujan monsun di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Pengkajian penulis yang diterbitkan oleh BAMS 2015 (Buletin American Meteorological Society) atas perubahan potensi risiko banjir akibat hujan ekstrem yang dipengaruhi perubahan iklim di Jakarta menemukan bahwa berdasarkan data curah hujan dan kejadian banjir antara tahun 1900 hingga 2014, peluang curah hujan ekstrem seperti yang terjadi pada Januari 2014 di Jakarta telah meningkatkan faktor risiko dua kali lipat dalam satu abad terakhir, terutama periode setelah 1960. Terakhir, tren itu dikonfirmasi oleh rekor curah hujan akumulasi satu dan dua hari pada kejadian banjir Jakarta bulan Februari 2015.

Dalam sistem iklim Bumi, ahli klimatologi telah mensimulasikan bahwa perubahan iklim akan memicu efek bencana dengan memperburuk frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim di seluruh dunia, seperti hujan lebat penyebab banjir, kekeringan berkepanjangan, dan penguatan siklon tropis. IPCC melaporkan bahwa frekuensi dan intensitas hujan ekstrem telah mengalami peningkatan yang signifikan selama abad terakhir, khususnya untuk Amerika dan Eropa, dan untuk sebagian besar Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Sains dan Teknologi era Industri 4.0 harus mampu meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia akan sangat rentan terhadap perubahan iklim tersebut. Selain suhu yang terus memanas dan perubahan pola hujan ekstrem, pulau-pulau kecil juga terancam hilang akibat kenaikan tinggi muka laut. Mengendalikan dampak itu semua, jalur pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang lebih berkelanjutan dan adaptif perubahan iklim harus diarus-utamakan. Langkah mitigasi meliputi semua tindakan yang diambil untuk mengurangi dan menahan emisi gas rumah kaca, sementara langkah-langkah adaptasi diorientasikan pada pengurangan kerentanan dan risiko terhadap dampak perubahan iklim.

Dengan berkembannya revolusi digital hampir di seluruh sisi dunia saat ini, revolusi industri ke-4 yang diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 dan memunculkan istilah industri 4.0 untuk pertama kali, akan juga berhadapan langsung dengan problem perubahan iklim. Pertanyaan seperti dapatkah digitalisasi, automasi dan komputer memecahkan semua masalah adaptasi dan mitigasi? Ketika dikombinasikan dengan kekuatan kreatif manusia, jawabannya adalah … mungkin. Setiap hari, kita semakin dekat untuk memecahkan berbagai masalah paling rumit dan serius yang dihadapi manusia melalui penggunaan teknologi baru seperti big data dan kecerdasan buatan (artificial intelligent, AI).

Meskipun masih ada beberapa orang di bumi yang mengklaim perubahan iklim adalah sebuah lelucon, sebagian besar dari kita percaya bahwa kita perlu mengupayakan segala kemungkinan untuk memperlambat atau menyelesaikan masalah. Kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) dapat membantu para peneliti dan inovator iklim menguji teori dan solusi mereka tentang cara mengurangi polusi udara dan inovasi ramah iklim lainnya. Beberapa proyek pemanfaatan teknologi ini sudah dilakukan. Sebut saja missal, The Green Horizon Project dari IBM adalah salah satu contoh yang menganalisis data lingkungan dan memprediksi pencemaran serta menguji skenario “what-if” yang melibatkan strategi pengurangan polusi. Dengan menggunakan informasi yang disediakan oleh algoritma pembelajaran mesin, Google dapat memotong jumlah energi yang digunakan di pusat datanya sebesar 15%. Best-practice serupa dapat membantu perusahaan lain mengurangi jejak karbon mereka.

Dalam hal adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan pola cuaca ekstrim. Penerapaan awal AI yang didukung Google yang disebut Verily mampu membantu para relawan bencana dengan cepat mengumpulkan informasi tentang verifikasi selama bencana kemanusiaan – misalnya, di mana orang-orang membutuhkan air bersih, penyelamatan, atau layanan lain segera setelah terjadinya bencana.

Hilangnya jawa, harta benda dan rusaknya infrastruktur dapat dikurangi jika ada peringatan dini sebelum terjadinya peristiwa bencana. Sistim Peringatan Dini kini menuju kemajuan yang signifikan dalam menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang dilatih dari data histroris cuaca ekstrem sehingga mampu mengenali keserupaan tanda-tanda terjadinya siklon tropis dan peristiwa atmosferik lainnya. Semakin baik, jelas dan akurat suatu peringatan dini, semakin baik masyarakat mampu merespon dan melindungi diri mereka sendiri. Dalam sistim peringatan dini, mesin akan bekerja menghitung kecepatan dan kekuatan proses dari sebuah model prediksi, meninjau lusinan, ratusan, bahkan ribuan code dan algorithma yang digunakan dan mengekstraksi secara intelijen routine yang dijalankan dalam sequens yang cerdas, serta mengenali pola luaran dan melakukan post processing secara lebih efisien.

Apa selanjutnya?

Kapasitas adaptasi perubahan iklim tergantung pada banyak faktor, seperti dinamika pasar, investasi swasta dan publik dalam kegiatan penelitian dan pengembangan, kebijakan dan institusi (Hallegatte, 2009), atau bahkan aspek budaya (Dunlap, Brulle, 2015). Faktor utama adalah kapasitas untuk kerjasama antar aktor di berbagai jenis sektor dan wilayah. Pada bidang pertanian (Soussana, 2013), produksi tanaman tadah hujan, inovasi adaptasi terdiri dari praktik-praktik seperti mengadopsi varietas tahan kekeringan atau tumpang sari, sementara strategi pemberian pakan alternatif atau teknik insulasi dipromosikan di sektor peternakan.

IPCC menyatakan untuk menahan laju pemanasan global kurang dari 1.5°C, laju emisis harus terkendali hingga negative. Tanah dapat menjadi solusi untuk emisi negatif tersebut. Penguraian karbon tanah atau carbon soil sequestration sebagai langkah mitigasi emisi adalah salah satu metode termurah dengan potensi penyimpanan karbon yang besar (Gambar 1). Dalam praktiknya kita melihat, begitu banyak ladang pertanian yang hanya memiliki tanaman selama satu musim, dan sisa tahunnya dibiarkan kosong atau bera. Tantangan kita adalah bagaimana menumbuhkan tanaman lain dalam waktu di luar musim tanam yang biasa itu untuk meningkatkan jumlah karbon yang dapat dihisap tanaman dari atmosfer. Inovasi dalam bidang pertanian yang menyertakan sistim cerdas iklim sebagai sarana untuk mencapai pertanian berkelanjutan sangat diperlukan. Hasilnya, selain peningkatan yang menundukung perbaikan kehidupan social dan ekonomi petani, karbon dalam jumlah besar di atmosfer dapat diminimalisir dengan perubahan dalam praktik pertanian itu. Sekolah Lapang Iklim BMKG yang selama ini sudah sukses sebagai program adaptif pertanian dapat dikembangkan sekaligus sebagai bagian mitigasi emisi gas rumah kaca (Gambar 2).

Saat ini inovasi lebih ditekankan pada peran inovasi yang mengarah pada perubahan ekonomi dan sosial (Van Lancker et al., 2016) untuk setiap sektor, pengetahuan dan teknologi, struktur demand, institusi dan lembaga dalam merespon agenda mitigasi dan adaptasi sekaligus.

Penutup

Dalam hal mengatasi problem dampak perubahan iklim, sekaligus problem solving untuk emisi gas rumah kaca, World Economic Forum menyatakan bahwa diperlukan lebih banyak interaksi antara entitas pemerintah, publik dan swasta, teknolog, pembuat kebijakan dan bahkan para pemikir, dan lebih banyak investasi dalam penelitian diperlukan untuk merealisasikan potensi manfaat digitalisasi, automasi, IoT, big data, dan AI bagi lingkungan dan kemanusiaan, tetapi saat bersamaan juga dicari solusi untuk mencegah potensi dan risiko negative dari semua kecerdasan buatan.

Referensi:

  1. Stéphane Hallegatte (2009), Strategies to adapt to an uncertain climate change, Global Environmental Change, Volume 19, Issue 2, pp240-247.
  2. Riley E. Dunlap and Robert J. Brulle (2015), Climate change and society: sociological perspectives, Oxford University Press, New York & Oxford 2015.
  3. Van Lecker, J., Mondelaers, K., Wauters, E., van Huilenbroeck, G. (2016), The Organizational Innovation System: A Systemic Framework for Radical Innovation at the Organizational Level, Technovation, 52/53, 40-50.

Gambar 1. Teknik dan Potensi Penyimpanan Carbon yang diusulkan IPCC dalam mitigasi Gas Rumah Kaca.

Gambar 2. Konsep pembaharuan Sekolah Lapang Iklim yang mendukung Pertanian Cerdas Iklim menuju keberhasilan Pertanian Berkelanjutan yang menggabungkan agenda adaptasi dan mitigasi sekaligus.

Afiliasi BMKG dan HAGI

Penulis : Siswanto, M.Sc