Rabu (17/3), MPBI, Pujiono Centre, CARI!, PREDIKT dan WAPSI dalam lingkup Gerakan Literasi Bencana-BNPB telah menggelar webinar yang bertajuk “NGOPI-PB #3 Apa Susahnya Hidup Selaras dengan Gunung Api”, dalam rangka menyebarluaskan wawasan para tetua, pemikir, dan praktisi penanggulangan bencana.
Dalam webinar tersebut, ada beberapa topik dan informasi yang dibagikan dengan pembicara yang berkompeten di bidangnya, seperti Dr. Surono (Dosen Luar Biasa ITERA, Anggota Dewan Penasehat dan Pelindung SAR DIY), dan penanggap oleh Sumino (Pujiono Centre), Maulinna Utaminingsih (MPBI).
Dr. Surono mengatakan bahwa Indonesia dikelilingi oleh gunung api aktif, yang mana terdapat berbagai ancaman bahaya erupsi gunung api. Agar masyarakat hidup selaras dengan gunung api, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Dr. Surono menjabarkannya sebagai berikut ;
- Kenali bukaan kawah, petakan arah dan luasan sebaran awan panas. Tidak untuk pemukiman, tidak membangun bangunan vital dan strategis yang mengumpulkan konsntrasi banyak masyarakat, aktivitas masyarakat terbatas, cocok untuk kawasan lindung (KRB III).
- Tidak untuk pemukiman, tidak membangun bangunan vital dan strategis mengumpulkan konsentrasi banyak masyarakat, aktivitas masyarakat terbatas, cocok untuk pertanian tanaman semusim (KRB II).
- Tidak membangun bangunan vital dan strategis yang mengumpulkan konsentrasi banyak masyarakat, aktivitas masyarakat terbatas, di daerah alur lembah/sungai yang berhulu di puncak gunung api.
- Aktivitas penerbangan pesawat terbang mengikuti rekomendasi keselamatan terbang. Masyarakat yang terancam bahasa unjan abu harus beradaptasi disesuaikan ancaman bahaya intensitas hujan abu. Tidak mengkonsumsi air dari mata air yang tercemar material vulkanik. Penutupan penerbangan pada jalur berisiko tinggi terhadap dampak abu vulkanik.
Ia juga berpendapat bahwa di daerah gunung api terdapat dua kawasan, yaitu kawasan bencana dan kawasan sumber daya. Dimana kawasan bencana terdapat bekas aliran lahar, lontaran material, dan gas vulkanik yang bisa dijadikan kawasan rawan bencana dan menghasilkan mitigasi bencana. Sedangkan, kawasan sumber daya terdapat kesuburan lahan dan keindahan alam yang bisa menjadi pemenuhan pembangunan, peningkatan ekonomi, perkembangan pendidikan, dan pelestarian ekosistem.
Namun, hingga saat ini masih banyak dijumpai aktivitas dan pemukiman di Kawasan Rawan Bencana (KRB) erupsi gunung api. Dr. Surono berbagi rekomendasi solusi, seperti :
- Perlu adanya pengawasan pembangunan di KRB erupsi gunung api melalui tata ruang berbasis pengurangan risiko bencana.
- Pengembangan wisata alam dengan tetap memperhatikan KRB, tetap berdasarkan prinsip pengurangan risiko bencana, dengan kesadaran bersama tidak memaksakan, berbagi ruang dan waktu dengan gunung api.
- Tanah yang subur harus menciptakan produk pertanian unggulan yang mempunyai deferensiasi tinggi, dengan manajemen pertanian yang dapat menjamin kesejahteraan petani dan kelestarian lingkungan.
- Diklat adaptasi ancaman bahaya erupsi gunung api harus dilakukan secara rutin sehingga tercipta budaya tangguh bencana, dapat terbentuk desa tangguh bencana.
- Ekploitasi alam harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan keselematan.
- Kearifan lokal harus menjadi dasar dalam strategi budaya tangguh bencana dalam beradaptasi dengan ancaman bahaya yang berpotensi menyebabkan bencana.
Jika disimpulkan, Indonesia yang kaya akan gunung api ini seperti dua sisi mata koin, yaitu memiliki bahaya seperti gempabumi, gerakan tanah, dan tsunami. Namun di sisi lain kaya akan energi, sumber daya baik pangan dan mineral, serta wisata.
Dimana kini ada 4 juta masyarakat yang tinggal di daerah gunung api, maka dari itu perlu adanya tata ruang ramah bencana, serta perlu siap dan beraninya pemerintah Indonesia. Bukan hanya itu, masyarakat juga perlu tahu status gunung api, perlu scenario yang inklusif dan terkuantifikasi (peningkatan kapasitas secara regular). Yuk, mulai melakukan mitigasi bencana secara kolaborasi multipihak dari sekarang! Jangan lupa untuk ikut Ngopi PB lainnya setiap rabu malam! (MA)