INILAH takdir bumi. Indonesia merupakan bagian yang tak terputuskan dari belitan cincinapi dunia, menjadikan bumi Indonesia begitu dinamis secara geologi, yang menghasilkan keragaman bumi dan pesona bentang alam yang dihasilkannya, mulai pantai hingga puncak gunung api yang menjulang.
Masyarakatnya kemudian mendiami pantai-pantai yang terlindung, sehingga perahu dapat merapat dengan baik. Masyarakat terbentuk, berkembang sesuai dengan irama alam. Air yang mengalir jernih, ikan yang melimpah, sumber makanan tersaji di laut hingga hutan belantara.
Manusia mengembangkan perkakas untuk mengolah makanan yang alam sediakan. Keberkahan alam yang melimpah-ruah di kepulauan yang teruntai di khatulistiwa.
Rona bumi yang membentang mengagumkan itu terbentuk karena adanya dinamika bumi yang aktif dan terus-menerus tiada henti hingga kini. Inilah hukum alam, ketika ada bagian yang menjauh di satu sisi, maka akan ada yang mendekat di sisi yang lain.
Di Jawa Barat selatan, yang merupakan bagian dari zona penunjaman di dasar Samudra Hindia, telah terbentuk bentang alam yang nyata dengan rona bumi yang bergunung-gunung dengan lembah yang dalam.
Proses pembentukan rona bumi itu tidaklah jadi sekaligus, namun semuanya berproses, memakan waktu puluhan juta tahun, sedikitnya 80-60 juta tahun yang lalu, evolusi itu sudah berlangsung di Tatar Sunda.
Ketika tidak ada manusia yang menghuni suatu kawasan, letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, merupakan peristiwa alam yang berjalan sesuai iramanya.
Ketika manusia menjelajah dan mendiami suatu kawasan, sejak itulah, dinamika bumi, letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, badai, kebakaran yang mereka alami, menjadi bagian yang yang akan melahirkan upacara religi, melahirkan doa-doa untuk keselamatan warganya dan memohon kesejahteraan yang berlimpah.
Adanya dinamika bumi itu memerlukan jawaban, mengapa peristiwa alam yang mengguncangkan jiwanya itu bisa terjadi. Maka lahirlah jawaban yang dikenal saat ini sebagai mitos dan legenda. Itulah kebenaran pada saat mitos itu menjadi jawaban pada setiap peristiwa alam yang terjadi.
Gempa bumi yang mengguncang, diingat kejadiannya, waktunya, setelah sekian lama diingat secara turun-temurun, melhirkan nama-nama setempat, seperti lini, lindu, kemudian rangkaian peritiwa kebumian itu dihimpun dalam paririmbon atau primbon, dijadikan pola penyelesaian bila gempa bumi itu terjadi.
Kini, ketika ilmu kebumian berkembang pesat, peristiwa kebumian terus dipelajari, penelitian lapangan dilakukan, dan peringatan kesiagaan disampaikan. Inilah ikhtiar, upaya yang terus-menerus diingatkan melalui pendidikan, dilakukan dengan simulasi, agar masyarakat di daerah yang diguncang gempa dan dilanda tsunami dapat menyelamatkan diri.
Adalah kenyataan alam yang tak bisa ditolak, bahwa di selatan Jawa Barat khususnya, merupakan zona penunjaman yang menjadi pusat-pusat gempa bumi yang dapat memicu terjadinya tsunami, seperti yang pernah melanda Pantai Pangandaran dan Pantai Sayangheulang di Garut Selatan.
Eko Yulianto, peneliti paleotsunami dari Pusat Geoteknologi LIPI, sudah melakukan penelitian di kawasan Pangandaran, berhasil mengidentifikasi dua hingga tiga lapisan paleotsunami dalam rekaman stratigrafi sedalam 1 hingga 2 meter. Data paleotsunami ini sangat membantu dalam mencatat kejadian gempa dan tsunami di Selatan Jawa. Dari hasil penelitian paleotsunami ini dapat mengungkap kebenaran hipotesis, bahwa gempa besar dengan Mw 9 pernah terjadi di Selatan Jawa.
Peneliti lainnya, Dr. Nuraini Rahma Hanifa, dengan menggunakan pemodelan data GPS, menyimpulkan, bahwa di zona penunjaman di selatan Jawa Barat sedang dalam kondisi mengunci, sehingga terjadi akumulasi energi. Menurut perhitunganya, bila energinya itu lepas, akan menghasilkan gempa berkekuatan maksimum M 8,7.
Kapan waktu terjadinya gempa dan tsunami masih menjadi misteri. Inilah kehormatan bagi manusia untuk berusaha, untuk berikhtiar melakukan upaya penyelamatan, upaya mitigasi, karena betapa berharganya nyawa manusia.
Ekspedisi desa tangguh bencana (desatana) tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa Barat, mulai Pantai Pangandaran, Tasik Selatan, Garut Selatan, Cianjur Selatan, dan Sukabumi Selatan, yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai 12 Agustus 2019 merupakan langkah nyata upaya mitigasi, yaitu serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, dengan melakukan upaya penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Inilah ikhtiar agar masyarakat siap untuk selamat.
Ekspedisi Desatan Tsunami ini bertujuan agar masyarakat dan aparat yang tinggal dan berada di pantai selatan Jawa Barat mengetahui, memahami, bahwa daerahnya merupakan kawasan yang rawan gempa bumi dan tsunami.
Pemerintah, para peneliti, akademisi, relawan, bersatupadu melakukan pengimbasan dan simulasi kesiapsiagaan di 300 sekolah, dan mengidentifikasi ketangguhan di 584 desa.
Setelah ekspedisi ini selesai, semoga gagasan, pengetahuan, dan pengalaman praktis dalam upaya mitigasi terus berjalan dengan insiatif warga, terus dikembangkan oleh aparat bersama masyarakat, sehingga masyarakat dapat merencanakan dan menerapkan langkah-langkah upaya mitigasi secara mandiri dalam segala hal, agar terwujudnya masyarakat yang tangguh, serta mampu beradaptasi, dan memulihkan dirinya.***
-Artikel ini pernah dimuat di Pikiran-Rakyat.com pada tanggal 3 Agustus 2019
Penulis : T Bachtiar