Bagi para pendaki gunung mungkin tidak asing lagi ketika mendengar kata “Gunung Guntur”. Gunung Guntur yang terletak di Garut, Jawa Barat ini memiliki ketinggian 2.445 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Baca juga : RUMAH PANGGUNG KHAS RENAH KEMUMU
Tapi Sobat Disasterizen tahu tidak sih kenapa gunung tersebut dinamakan Gunung Guntur? Ternyata ada alasan tersendiri yang menarik lho di balik nama Gunung Guntur. Nah, di bawah ini SiagaBencana.com akan memberi tahu dan menceritakannya ke kamu kisah letusan Gunung Guntur. Simak!
Asal Usul Nama Gunung Guntur
Setiap gunung pasti mempunyai alasan dan ceritanya tersendiri. Sama halnya seperti Gunung Guntur, konon nama ‘Guntur’ diambil lantaran letusannya yang menggelegar, seperti guntur yang membelah langit.
Sejarah Letusan Gunung Guntur
Ternyata sepanjang tahun 1800 silam, gunung ini sudah berkali-kali meletus lho. Dari tahun 1800 sampai dengan tahun 1847, tercatat mengalami 21 kali letusan. Salah satu letusan yang terdahsyat dari Gunung Guntur ada di tahun 1840. Hal ini dicatat oleh Franz Wilhelm Junghuhn, Naturalis Belanda kelahiran Jerman.
Pada pukul 03.30 di tahun 1840, terdengar suara gemuruh. Lendakan muncul secara tiba-tiba dan membangunkan penduduk Garut dari tidurnya. Lalu ketika terbangun dari tidurnya, mereka berlarian keluar rumah dan menyaksikan segumpal awan asap besar membumbung tinggi dari kawah.
Segala isi perut bumi, seperti pasir dan kerikil menyembur keluar selama dua jam ke segala penjuru. Batu-batu besar sekepalan tangan berhamburan di kaki gunung dan Tarogong. Tak kalah, batu-batu panas seukuran telur ayam juga menyembur sampai Garut kota. Hingga akhirnya hujan batu dan suara menggegar itu berhenti pada pukul 09.00 dan mengubah siang menjadi malam, sehingga masyarakat sampai harus menyalakan lampu di dalam rumah dan obor di jalan.
Tidak sampai di situ, aliran putih membara dahsyat keluar dari kawah dan bergerak mengalir. Kawah tersebut ibarat mangkuk yang berisi susu mendidih dan meluap ke segala arah. Kemudian, suara gemeretak bongkahan batu yang jatuh di lereng gunung mirip tembakan meriam dan memecahkan kaca-kaca rumah di Garut.
Berselang waktu dalam setahun setelah letusan dahsyat itu, tepatnya pada tanggal 4 Desember 1841 Gunung Guntur kembali meletus. Letusannya menyebabkan hujan abu yang diiringi suara kuat dari dalam tanah. Bahkan sebanyak 400.000 pohon kopi yang sedang berbuah dan 300 sawah rusak berat.
Di tahun 1825, letusan Gunung Guntur juga membawa banyak kerugian. Natuurkunding Tijdschrift voor Nederlandsch Indie menyebutkan debu, pasir, dan batu terbawa ke selatan serta barat telah menutup Malaio, Tjibodas, Dongde, Trogong Kaler, dan Leles. Pada saat itu tidak ada korban yang berjatuhan, namun membuat ratusan ribu pohon kopi hancur, 4.000 pikul kopi hasil panen hilang, dan 1.449 petak sawah rusak tertutup abu.
Kalau melihat lebih jauh lagi, letusan Gunung Guntur juga telah menghancurkan beberapa desa, menelan korban banyak, dan merusak ribuan hektar tanah pertanian di tahun 1690. Letusan tahun 1690 tersebut adalah letusan pertama yang tercatat.
Hal ini dibuktikan dengan adanya singkapan yang mirip dengan kue lapis raksasa di Citiis sekitar 5 kilometer dari kawah, itu merupakan susunan lapisan material letusan Gunung Guntur. Di singkapan tersebut ada material yang sudah dingin tertimpa awan panas, bahkan ada kayu yang menjadi arang.
Di lokasi tersebut, minimal ada tiga lapisan material letusan Gunung Guntur dari periode yang berbeda. Semua tumpukan itu berada di atas lahar yang diduga hasil dari letusan Gunung Guntur. Namun tidak ada yang mengetahuinya usia dari lapisan-lapisan tersebut. Tidak sampai di situ, Cipanas juga dibangun di atas lapisan lava dari letusan Gunung Guntur. Nah dari jejak-jejak itulah, terungkap perubahan karakter ataupun kekuatan dari letusan Gunung Guntur. (MA)
Sumber : Ekspedisi Cincin Api (Kompas.com)