Bagi sebagian orang mungkin akan mengira kalau anak-anak akan panik, nangis, bingung ketika ancaman gempa menghampiri. Tapi hal ini tidak berlaku untuk semua siswa-siswi sekolah Hati Kudus, Jakarta Barat. Sebab, sekolah ini selalu menerapkan program aksi PRB (Pengurangan Risiko Bencana) setiap tahunnya. Keren!
Bapak Kepala Sekolah Suwandi, selalu menerapkan aksi PRB di sekolah setiap tiga kali dalam setahun lho Disasterizen, yaitu setelah pertengahan semester, akhir semester, dan setiap tanggal 26 April (Hari Kesiapsiagaan Bencana). Aksi PRB ini sendiri sudah diterapkan pada 2017 lalu, hingga saat ini.
Siswa-siswi sekolah Hati Kudus selalu disosialisasikan tentang bagaimana cara kesiapsiagaan, isu kebencaan dan lain sebagainya, melalui banyak cara dengan dibimbing oleh guru. Misalnya saja guru selalu menyisipkan bacaan yang menyinggung kebencanaan atau setelah terjadi gempabumi anak disuruh untuk bercerita tentang pengalaman apa yang dirasakan dan bagaimana yang harus dilakukan ketika gempa datang. Tapi nih ya gengs, bukan cuma anak-anaknya saja yang disosialisasikan tentang aksi PRB. Seluruh warga sekolah bahkan sampai pedagang yang ada di jalan pun ikut dalam aksi PRB ini!
“Saya ingin isu kebencanaan selalu digelorakan. Kalau ujian atau ulangan selalu disisipkan bacaan-bacaan yang menyinggung kebencanaan. Terus kalau ada kejadian misalnya, yang kemarin Jakarta terasa gempa, anak-anak diminta untuk bercerita tentang pengalamannya. Saya melihat itu sangat mengena. ” tutur Suwandi, yang ditemui pada acara Digital Learning Apps Competition Plan Indonesia (17/9).
Lalu Pak Suwandi bercerita, anaknya yang masih kelas 4 SD bersekolah di SD Hati Kudus, saat Jakarta ikut terasa gempa 2 Agustus 2019 lalu, semua orang langsung lari ke jalan. Namun, anak pak Suwandi sendiri protes karena saat gempa terjadi seharusnya sembunyi dahulu. Sebab ketika gempa terjadi lalu langsung lari ke lapangan atau jalan, malah berbahaya.
“Anak saya kebetulan sekolah di situ juga kelas 4 SD. Waktu ada gempa, saya kebetulan pas ada di luar. Saat gempa berguncang, semuanya lari ke jalan. Lalu anak saya protes, katanya kita ini salah. Seharusnya ketika terjadi gempa kita tuh harusnya sembunyi dulu. Karena kalau kita langsung lari malah bahaya. Nah berarti kan dia sudah paham, cuma ia tidak mempunyai kapasitas menjadi disaster maker. Jadi ketika diajak lari keluar, ya lari. Tapi bentuk protes itu bentuk bahwa pendidikan kebencanaan sudah melekat,” Suwandi melanjutkan.
Sudah terbuktikan betapa pentingnya pendidikan kesiapsiagaan bencana untuk anak, sehingga anak bisa sadar dan sigap ketika ancaman bencana datang. Lalu pasti kalian akan bertanya, apa ya kendala yang dialami oleh pak Suwandi ini dalam melakukan aksi PRB?
Pak Suwandi mengatakan yang menjadi kendala adalah ketika ada guru baru yang belum mengerti tentang kesiapsiagaan bencana dan para pedagang jalanan di sekolah. Ia menyikapi itu dengan bijaksana dan tegas. Suwandi mengatakan kalau pedagang yang di jalan juga memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur). Jadi ketika sirine berbunyi, para pedagang ini menutup jalan sebagai tempat titik kumpul warga sekolah.
Wah hebat banget bukan Disasterizen? Semua pihak terlibat dalam aksi PRB ini! Apakah tempat kalian sudah menerapkannya? (MA)