sejarah pacitan tsunami

Catatan Belanda : Patjitan 2 Kali Diterjang Tsunami

Bukan bermaksud untuk menakut-takuti, banyaknya isu gempa atau gelombang tsunami tinggi yang terjadi di beberapa daerah karena pertemuan dua lempeng besar Indo-Australia dan Eurasia di pesisir selatan pulau Jawa harus disikapi positif. Masyarakat harus mengenal situasi tersebut, sekaligus mengembalikan mindset bahwa realitas masyarakat Kabupaten Pacitan memang berdiri di atas tanah dengan segudang potensi bencana. 

Oleh karena itu, kita harus tidak melupakan sejarah. Sebab, kejadian bencana sudah terjadi sejak dulu. Salah satunya adalah tsunami yang terjadi di Pacitan yang terjadi pada zaman Belanda. 

Merujuk sejarah, negeri kincir angin tersebut secara diam-diam mencatat fakta bahwa Patjitan nama ejaan pacitan saat itu sempat dihantam dua kali gelombang besar. Kejadian pertama terjadi pada awal tahun 1940, gelombang pasang itu juga didahului dengan gempabumi. Selanjutnya gempa disusul gelombang besar terjadi saat jelang magrib, pada 20 Oktober 1859. 

Pada saat itu, sebanyak 27 desa menjadi perhatian pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pacitan, desa-desa tersebut berada di dataran rendah berhadapan dengan Samudera Hindia. 

Menurut perhitungan kasar, masyarakat pesisir yang harus melakukan evakuasi mandiri mencapai 20 persen dari total populasi penduduk Pacitan, atau kira-kira 100 ribu orang. Sementara sebagian diantaranya adalah kelompok rentan yang perlu dibantu saat proses evakuasi saat kejadian. 

“Masyarakat harus peka melihat kanan kiri, di stu ada lansia, balita, disabilitas menjadi prioritas untuk ditolong,” kata Diannita Agustinawati, Kasi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan. 

rofesor Ron Harris yang sempat datang langsung ke Pacitan dalam penelitiannya tahun 2016 lalu, memperkirakan gelombang tsunami yang masuk ke daratan sejauh 2 sampai dengan 3 kilometer dari bibir pantai. Jika merujuk pada prakiraan tersebut pusat kota dan pemerintahan masih berstatus aman, lantaran jaraknya 5 kilometer dari pantai. Ini juga didukung Sabuk Hijau  atau green belt sebagai penahan kecepatan gelombang di sepanjang teluk Pacitan.

Bersyukur teluk Pacitan dan Banyuwangi menjadi teluk yang memiliki sabuk hijau terbaik. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai menjadi perhatian selanjutnya, sebab aliran sungai ibarat jalan tol bagi gelombang tsunami, beberapa wilayah yang berada di lokasi ini harus benar-benar memahami mitigasi secara mandiri meski jaraknya di atas 3 kilometer.  (MA)

Sumber : Pacitankab.go.id