Indonesia memiliki banyak sekali rumah tradisional yang tahan gempabumi lho Disasterizen. Misalnya saja Rumah Bidai dari Bengkulu ini!
Rumah bidai ini sekilas sama dengan rumah tembok berbahan batu bata. Yang membedakannya adalah dinding rumah bidai dibuat dari anyaman bambu yang diikat dengan kawat, lalu dilapisi dengan adukan semen dan pasir. Kombinasi bambu dan kawat di dalam plester semen tersebutlah yang membentuk dinding menyerupai beton, tapi lebih ringan dan lentur.
Dari sifatnya yang ringan dan lentur inilah yang membuat rumah bidai lebih tahan gempa disbanding dengan rumah biasa lainnya. Seperti yang dilansir dari Kompas.com, Ujang Samsuri (62), warga Desa Daspetah, Kepahiang, menjadi saksi kekuatan rumah bidai warisan keluarganya. Rumah bidai yang dibangun pada 12 Desember 1965 itu telah melewati serangkaian gempa kuat, yaitu tahun 1979, 1997, 2000, 2007, hingga 2009.
Ia menceritakan bahwa banyak tembok rumah di sekelilingnya roboh akibat gempabumi, tetapi rumah dua lantai yang ditinggali oleh Ujang berserta istrinya masih berdiri tegak dan hanya lapisan semen luarnya saja sedikit mengelupas.
Baca juga : MARI BERKENALAN DENGAN SESAR MENTAWAI
Kuatnya rumah Ujang dari guncangan gempabumi tersebut selain dikarenakan dinding bidai, nampaknya juga ditopang oleh tiang-tiang kayu yang ditumpukan di atas umpak batu. Tiang kayu ini juga menjadi pengikat kawat yang menjadi tulangan dinding bidai.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar, Ade Edward mengatakan, rumah bidai merupakan perubahan konstruksi bangunan rumah tradisional Sumatra Barat yang menggunakan sasak bugih atau anyaman bambu. Kemudian, setelah PT Semen Padang beroperasi pada tahun 1910-an, masyarakat sana mengenal semen dan memadukannya dengan sasak bugih tersebut.
Masyarakat melapisi dinding bambu tersebut dengan semen, hal ini dikarenakan agar rumah terlihat seperti tembok pada umumnya. Untuk memperkuat semen agar tidak rontok, maka mereka member kawat diantara anyaman bambu. Lalu, desain bangunan rumah tersebut dibawa para tukang hingga ke Bengkulu yang sekarang dikenal dengan nama rumah bidai. Tapi sayangnya rumah tradisional bidai ini sudah mulai ditinggalkan.
Saat ini, kebanyakan masyarakat, terutama yang tinggal di kota mengganti rumah mereka dengan rumah tembok batu bata yang tidak memedulikan prinsip aman gempabumi. Meskipun pemerintah telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) bangunan tahan gempabumi sejak 2002.
Nampaknya masyarakat semakin melupakan warisan dari nenek moyang tentang menghadapi gempabumi. Tidak hanya itu, pemerintah pun juga menghancurkannya melalui proyek-proyek yang dikerjakan secara gegabah. (MA)
Sumber : Jelajah Kompas