setiap daerah memiliki cara menjaga lingkungan

Berbagai Cara Setiap Daerah Dalam Menjaga Lingkungan

Dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, masyarakat memiliki caranya sendiri yang patut dicontoh dalam melestarikan lingkungan. Misalnya saja di Bali, inisiatif pengelolaan air berasal dari masyarakat, terutama petani. Uniknya, sistem tersebut tidak cuma berbentuk infrastruktur tapi juga sistem sosial. 

Jika dilihat sebagai infrastruktur, subak berfungsi memudahkan pengairan irigasi. Untuk memastkan air terbagi rata dan menyelesaikan sengketa soal air, para petani berembuk. Rembukan itu disebut subak. 

Perlu diketahui, organisasi pengelola air irigasi telah ada sejak lama. Berdasarkan data arkeologis, khususnya data epigrafi, organisasi ini setidak-tidaknya dikenal di Bali pada abad ke-11, pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. 

Baca juga : CATATAN SEJARAH TSUNAMI PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA

Bukan hanya di Bali, masyarakat Samin di Blora, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur juga punya inisiatif mengelola air. Caranya dengan tidak membuat bermacam bangunan untuk kelola air. Pengelolaan tersebut lahir dari pandangan semesta mereka “mengambil hasil alam secukupnya”. Misalnya saja menggunakan air sungai, masyarakat tidak boleh mengeksploitasi air untuk diperjualbelikan. Yang penting kebutuhan hidup tercukupi tanpa merusak alam.

Pandangan tersebut berasal dari Samin Surosentiko, seorang warga Blora kelahiran 1859. Ia mengembangkan ajaran kebatinan. Kelak pengikutnya disebut orang Samin. Mereka sendiri lebih suka dipanggil wong sikep (orang yang bertanggungjawab). 

Alam bagi wong sikep dipandang sebagai anugerah dan mereka bertanggung jawab atasnya. Pandangan ini lestari hingga sekarang. 

Sikap tersebut juga ditunjukkan orang-orang Baduy di Banten. Hingga kini mereka menolak eksploitasi alam oleh para pemodal. Mereka hidup berabad-abad lamanya di pegunungan Kendeng. 

Selain itu, masyarakat Baduy juga memiliki keunikan tersendiri dalam menjaga lingkungan. Seperti menebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma) tapi tidak pernah terjadi bencana kebakaran. Mereka memiliki pengetahuan untuk memilih lahan yang cocok jadi huma. Mereka juga mengetahui jenis tanah, kandungan humus, dan kemiringan lereng. Pengetahuan tersebut mereka dapatkan secara turun menurun. Cara konservasi ini diterapkan pula dalam pembangunan tempat tinggal dan pengelolaan air serta hasil bumi lainnya. 

Masyarakat Baduy juga mengenal konsep hutan larangan. Orang biasa menyebutnya “hutan angker”. Orang tidak bisa sembarangan masuk hutan dan menebang. Ada ritual dan waktu khusus untuk masuk ke hutan tersebut. Mereka percaya bahwa roh leluhur masih bersemayam. Jika sembarangan masuk, bencana bisa datang. 

Tidak hanya pada masyarakat Baduy saja. Konsep tersebut juga berjejak pada banyak tempat di Nusantara. Hutan larangan atau suci tak terbatas di Jawa. Bisa juga ditemukan di Sumatera, Bangka, Kalimantan, Buru, Bali, Sumba, dan Timor. Yang menjadi menarik, konsep tersebut berhasil mencegah penebangan liar.  (MA)

Sumber : historia.id