Becermin Pada Rumah Adat Kampung Cikondang

Sebenarnya, ancaman bencana ini sangat dekat dengan kita, Sobat Disasterizen. Bencana juga merupakan siklus yang berulang, maka dari situlah pengetahuan dan teknologi untuk mencegahnya serta mengurangi dampak dari risiko itu lahir.

Salah satunya adalah Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kampung Cikondang adalah contoh dari pencegahan bencana alam berbasis kearifan lokal. Arsitektur rumah tradisionalnya sendiri, secara umum ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya.

Lantai panggung setinggi 60-80 cm dari tanah, tiang dari kayu jati atau suren, sambungan yang diikat dengan tali ijuk maupun rotan. Lalu, dibagian pondasinya diletakan di atas batu. Inilah teknologi yang ditemukan berdasarkan kearifan lokal.

Baca juga : “KULKUL” EARLY WARNING SYSTEM MASYARAKAT BALI

Nah, bangunan semacam itu rupanya dikagumi oleh Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan dari Institut Teknologi Bandung, Sugeng Triyadi. Menurutnya, bangunan seperti itu kerap bersanding dengan pengetahuan tentang topografi. Sugeng berkeyakinan arsitektur adat sebenarnya telah melalui uji coba alam hingga diterima masyarakat. “Prosesnya panjang sekali sampai menemukan yang sesuai dengan karakteristik tempat tinggal meraka,” jelasnya.

Dalam penyusunan konstruksi rumah, sambungan satu tiang dengan tiang lain tidak menggunakan paku atau material logam lainnya, melainkan material yang sudah ada di alam, seperti tali ijuk ataupun pasak bambu atau disebut sistem ikat dan paseuk. Paku atau material logam lainnya sebenarnya tidak tabu digunakan, tapi benda itu akan menambah beban, sehingga menjadi berat. Dengan begitu, material itu memenuhi salah satu persyaratan bangunan tahan gempa, yaitu bermaterial ringan.

Kalau ditengok kembali pada 2009 lalu dengan kekuatan gempa 7,3 M di Tasikmalaya. Bangunan tersebut tetap kukuh berdiri!

Sejak itu, banyak arsitek dari beragam perguruan tinggi sengaja datang demi menggali informasi di Cikondang. Tak sebatas itu, peneliti di luar negeri seperti Belanda, Jepang dan Jerman sampai tertarik mendalami sistem konstruksinya.

Sugeng mengatakan, rumah tradisional terbukti tanggap terhadap bencana. Sejak awal, orang tua jaman dulu sudah memiliki perhitungan menyoal membangun rumah. Kayu pondasi rumah adat sengaja tak ditanam dalam tanah layaknya rumah modern. Perhitungan lain yang membuat rumah tradisional tahan gempa adalah bahan kayu yang lentur. Pada sambungan, bahan kayu yang tak dipaku mati sehingga mampu bergoyang.

Bagi Sugeng, kearifan lokal sangat penting dilestarikan. Sebab, Jawa Barat adalah salah satu daerah rawan gempa, kearifan lokal seperti rumah panggung harus dijaga. Meski dianggap kuno atau tradisional, tipe rumah panggung biasanya lebih aman dari getaran. Rumah panggung juga relatif bisa meminimalisasi risiko kehancuran bangunan yang terjadi akibat gerakan tanah. (MA)

Sumber : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Mongabay.co.id