Indonesia bukan hanya memiliki keanekaragaman suku dan budaya saja, tapi juga dilalui beraneka ragam ancaman bencana. Namun, dari keberagaman tersebut, setiap wilayah memiliki keunikan dan kearifan lokalnya tersendiri. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam mitigasi bencana banjir dan longsor di Indonesia.
Baca juga : 5 DERETAN GEMPA PADA MASA NABI
Kearifan lokal merupakan ide-ide yang muncul dari hasil olah pikir masyarakat setempat yang sifatnya bijak, penuh kearifan, dan bernlai baik yang ditanamkan dan diikuti oleh para anggota masyarakatnya, Pengetahuan yang sifatnya tradisional ini digunakan masyarakat setempat untuk dapat beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan yang ada. Selain itu, hal tersebut juga menjadi dasar dalam melakukan tindakan mitigasi bencana oleh masyarakat lokal.
Penasaran nggak sih apa saja kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia yang berbasis mitigasi banjir dan longsor? Penasaran? Keep scrolling!
- Lamban Langgakh
Daerah Lampung juga mempunyai kearifan lokal lamban langgakh. Lamban langgakh merupakan sebutan untuk rumah panggung di daerah Pesisir Barat, Lampung. Kearifan lokal berupa rumah panggung ini selain digunakan untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami, serta juga digunakan untuk mitigasi bencana banjir.
Rumah panggung ini berbahan utama kayu atau papan yang diperkuat dengan pasak dan tiang, serta memiliki ketinggian 2-3 meter di atas permukaan tanah. Bangunan rumah panggung yang ditinggikan ini dapat menjadi alternatif solusi dalam menghadapi bencana banjir. Sebab, air yang datang ketika banjir tidak akan sampai merencam dan masuk ke rumah masyarakat. Tradisi membangun rumah panggung selain diterapkan di Pesisir Barat, juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Baduy, Banten dan masyarakat Bojongkoneng, Bogor.
- Repong Damar
Selain lamban langgakh, repong damar juga kearifan lokal berbasis bencana yang dimiliki masyarakat Lampung. Kearifan ini mengaaptasi sistem agroforestri kompleks untuk mengelola lahan di hutan secara baik.
Masyarakat di Kabupaten Pesisir, Lampung memiliki larangan tersendiri untuk dapat tetap mengatur dan menjaga kelestarian alam hutan melalui hukum adat. Masyarakat setempat dilarang menebang pohon damar. Penebangan pohon damar dipercaya akan mendatangkan malapetaka kepada sang penebang.
Namun sebaliknya, apabila masyarakat memperkaya kebun damar dengan menanam tanaman buah lainnya, seperti durian, duku, petai, dan yang lainnya, dipercaya panen getah damar akan melimpah.
Berdasarkan tesis yang berjudul “Kearifan Lokal Untuk Mitigasi Bencana pada Masyarakat Rawan Bencana Gempa, Tsunami, Longsor, Banjir di Kabupaten Pesisir Barat Provinsi Lampung” karya Meri Herlina, fungsi dari repong damar ini sebenernya adalah sebagai zona penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang digunakan sebagai daerah tangkapan air dan penstabilan iklim.
- Pikukuh Karuhan
Pikukuh karuhan merupakan sejumlah aturan atau ketentuan adat yang harus dilaksanakan masyarakat Baduy untuk mencegah terjadinya bencana alam. Ketentuan pikukuh karuhan ini diantaranya adalah terkait pembuatan bangunan, larangan untuk mengubah jalan air, mengubah kontur tanah, dan meratakan tanah untuk pemukiman.
- Pengklasifikasian Hutan
Masih mengenal kearifan lokal masyarakat Baduy, fungsi hutan dibagi menjadi tiga jenis yakni hutan larangan, hutan dungusan atau dudungusan, dan hutan garapan.
Hutan larangan merupakan hutan lindung yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang. Hutan dudungusan adalah kawasan hutan pelestarian yang dianggap keramat sebagai tempat leluhur. Sementara itu, hutan garapan adalah kawasan hutan yang dapat dijadikan ladang untuk bertani para penduduk Baduy.
- Tatali Paranti
Tradisi tatali paranti karuhun berisi norma-norma dan pengetahuan tentang cara bertani yang dilakukan masyarakat Kasepuhan. Terdapat dua jenis pertanian yang dilakukan, yakni perladangan dan sawah.
Dalam sistem perladangan yang dilakukan warga Kasepuhan, terhadap tahapan nyacar, yaitu tahap penyiapan lahan. Pada tahap ini, pepohonan yang menutupi lahan sengaja tidak ditebang karena hal tersebut dianggap pamali oleh warga sekitar. Jadi, lahan yang sudah siap tersebut tidak akan mengalami perubahan yang mendasar, dan juga tidak akan beralih fungsi ke penggunaan yang lain. Maka dari itu, sistem perladangan dengan metode tradisi tatali paranti karuhun ini tidak memicu longsor dan sebagai upaya mitigasi bencana longsor. (MA)
Sumber : Tirto