Mungkin kalian sudah tidak asing lagi dengan legenda atau cerita ‘Smong’ dari Simeulue. Cerita tersebut bahkan sudah dijadikan film hingga permainan. Tapi, apakah kalian sudah pernah mendengar cerita Tagari Lonjo?
Sama halnya dengan cerita Smong, Tagari Lonjo ini juga berkaitan dengan bencana alam, yaitu likuifaksi. Cerita Tagari Lonjo menjadi booming kembali setelah terjadinya peristiwa likuifaksi yang terjadi di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah. Menurut cerita dari masyarakat Baloroa dan sekitarnya, Tagari berarti daerah, sedangkan Na’Lonjo yang berasal dari Bahasa Kaili memiliki arti tertanam atau daerah yang berawa.
Cerita tersebut mengisahkan tentang larangan untuk melalui daerah Lonjo. Pada zaman dahulu, para pedagang berasal dari Marawola yang menuju Pasar Tua Bambaru lebih memilih memutar melalui jalur Duyu. Mereka khawatir jika melewati jalur Lonjo, maka mereka akan tertanam di dalam lumpur, sedangkan jalur Lonjo ini merupakan jalur yang tersingkat untuk menuju Pasar Tua di Bambaru.
Seperti namanya, daerah Lonjo memiliki struktur tanah yang labil akibat kepadatan tanahnya yang rendah sehingga beban berat yang ada di atasnya bisa ambles. Selain itu, di bagian sebelah Timur daerah Lonjo juga dikenal sebagai Tonggo Magau, yang berarti tempat berkubangnya kerbau-kerbau milik Raja Palu.
Tonggo Magau ini juga mempunyai kisah secara turun menurun sampai saat ini, yaitu peristiwa hilangnya kerbau Raja Palu, Djanggola. Kerbau yang hilang tersebut diketahui jatuh di sebuah lubang yang tidak jauh dari daerah Tonggo Maggau, yang dinamakan oleh masyarakat setempat dengan Pusentasi, berarti Pusat Laut.
Baca juga : PROTOKOL KESEHATAN COVID-19 ALA MASYARAKAT BANUALEMO DAN RIMBA
Masyarakat sekitar juga menceritakan bahwa terjadi fenomena pada permukaan air Pusentasi ini. Menurut mereka, air di Pusntasi tersebut akan naik jika laut sedaang terjadi pasang, dan sebaliknya bila air laut surut maka permukaan air di Pusentasi juga ikut turun. Nah, fenomena itulah yang membuat lubang itu dinamai dengan Pusentasi (pusat laut).
Sayang seribu sayang, seiring dengan berkembangnya sebuah kota, meningkatnya suatu kebutuhan dan datangnya pendatang baru. Maka masyarakat Kota Palu, sudah mulai lupa tentang larangan untuk menjauhi daerah tersebut.
Puncaknya pada tahun 1980-an, ketika pemerintah bersama dengan investor mulai menjadikan daerah tersebut sebagai lahan pemukiman dengan melakukan penggusuran dan penimbunan lahan. Hal ini bertujuan agar struktur tanah yang semula labil bisa menjadi keras, sehingga layak untuk didirikan perumahan, yang mana perumahan tersebut dikenal dengan Perumnas Balaroa.
Namun tanpa disadari, kegiatan itu justru sangat membahayakan lho! Hal ini terbukti ketika terjadi gempabumi pada 28 September 2018. Gempa tersebut menimbulkan likuifaksi yang mana mengembalikan struktur tanah Lonjo menjadi labil kembali. (MA)
Sumber : komunitashistoriasul-teng.simplesite.com